Sabtu, November 07, 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Kebersamaan dan Kesetiaan

Terseok-seok dia menyusuri jalan. Badan bungkuk melengkung nyaris membuat kepalanya mencium tempurung lutut kanan. Rambutnya gimbal segimbal-gimbalnya, karena sudah bercampur kotoron, tanah, segala jenis kutu dan tumo. Busananya sangat tak pantas disebut pakaian. Tubuh berdaki karena tak pernah mandi, wajah mendelik jika bicara, membuat dia jadi imitasi terdekat Quasimodo, si Bungkuk dari Notre Dame.

Namun kegagahan masih membayangi. Di belakang pria tengah usia itu, berjalan beriringan keluarganya, seorang wanita bule dengan dua anak perempuan yang masih kecil. Mereka berpakaian lusuh, mirip gypsy, tetapi kulit mereka tidak kusam, karena pastilah berbasuh setiap hari. Bola mata mereka coklat bening, agak kuyu tetapi tak pernah kehilangan cahaya.

Tidak banyak yang tau siapa laki-laki itu. Orang-orang pernah berbisik mengatakan, dia bernama Anwar Nasution. Aku tak pasti. Konon, pemuda gagah dari Sipirok ini adalah pelaut ulung. Dia melanglang buana, menantang ombak dan gelombang. Dialah yang berkelana dengan suara lantang menghardik badai dan menampar ombak besar di lima samudra. Dialah yang menyusuri dermaga-dermaga benua Eropa, tak menyerah pada takdir, tak angkat tangan terhadap nasib. Dia pulalah yang menikahi wanita anggun dari Eropa, istri yang memberinya dua anak berambut pirang, berhidung mancung.

Namun, petaka memang tak selamanya bisa dihindarkan. Tiang kapal patah dan menimpa tubuhnya yang tegap. Diapun lunglai, terjerembab setengah mati, namun masih mampu bertahan dengan tubuh remuk dan pikiran kacau. Kecacatan membuat hidupnya berbalik 180 derajat, tak lagi bisa bekerja sebagai kelasi. Menganggur! Tak punya mata pencaharian! Kiamat sangat dekat dengan kepala.

Tapi keluarga Anwar tetap survive. Mereka bertahan dengan menyusuri kota Medan. Terseok-seok bersama, menantang dunia bersama. Rumah tiada, harta tak punya. Tidur beralas tikar di sela-sela emperan toko. Mereka tak pernah menengadah telapak meminta-minta, hanya menerima jika disodorkan. Mereka menggelandang trotoar demi trotoar dan terowongan, berbalut buntalan kain-kain gendongan.

Di mana mereka sekarang? Kota Medan sudah lama tak melihat mereka. Anwar mungkin sudah tiada, tetapi ini hari keluarga itu berkelebat dalam lintas pikirku. Mereka ternyata bukan kotoran, meski kehidupan selalu berhubungan dengan sampah. Keluarga Anwar adalah harum mawar penghias kota Medan, potret jelita ibukota Sumatera Utara, karena mereka memiliki hal yang jarang kita miliki, suatu nan bernama: kebersamaan & kesetiaan.

Kebersamaan keluarga dalam menjalani susah seperti menikmati kesenangan, adalah fenomena. Kesetiaan keluarga mendampingi suami dan ayah dalam segala kondisi, sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu yang langka, tidak selalu terjadi di zaman ini.

23 September 2009

Tidak ada komentar: