Sabtu, November 07, 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Aku dan Ompung Madong


Langit menghijau menghias malam Bagaikan tidur rupanya alam. Besarnya bulan laksana talam Bintang bersinar umpama nilam Angin bertiup perlahan-lahan Membuai burung di atas dahan. Air mengalir bagai tertahan Sadar hatiku kepada Tuhan Senyap di sini di sana sunyi Satupun tidak ada berbunyi Hanyalah jangkrik mengangkat nyanyi Di dalam rumput ia sembunyi Terimakasih aku ucapkan Kepada Tuhan yang memberikan Di dalam hati aku serukan: “Alangkah indah yang kau jadikan!”

Diambil dari buku Taman Kesuma, terbitan tahun 1923

Lagu TERANG BULAN ini merindingkan bulu romaku ketika dinyanyikan oleh paduan suara murid-murid Sekolah Rakyat (SR) di Gedung Kesenian Medan. Sepanjang ingatanku, acara malam di tahun 1960 itu khusus diselenggarakan untuk menghormati almarhum Madong Lubis yang meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya, diisi dengan pembacaan sajak dan pagelaran musik ciptaannya yang termaktub di buku Taman Kesuma 1 & 2. yang selalu dibubuhi tanda tangannya untuk menghindari penggandaan liar.

Kami sefamili diundang hadir. Aku yang saat itu masih kelas empat SR rasanya ingin ikut tampil nyanyi di panggung bersama mereka. Tapi tak bisa karena aku berasal dari sekolah lain. Jadi aku cuma terhenyak di kursi, hanyut oleh keindahan musik dan lirik. Kadang-kadang aku hanya ikut bernyanyi dalam bisikan, seperti ketika koor itu menyenandungkan LAGU BERMAIN yang dikenal sebagai lagu PETIK RAMBUTAN. Sebagian liriknya masih kuingat.

Petik rambutan, bungkus di kain Belilah kain buatan Bangka Ayolah kawan, mari bermain Mari bermain bersuka-suka. Ayo, ayo, ayo Lari, lari, lari, Ayo berlari, jangan berdiri.

Lagu ini sangat terkenal waktu itu. Lagu gembira, lagu permainan kanak-kanak. Lagu lincah yang juga sering dinyanyikan orang dewasa. Bahkan duet The Blue Diamonds , yaitu abang-adik Ruud de Wolff dan Riem de Wolff kelahiran Jakarta, setelah berimigrasi ke Belanda tahun 1949, menyanyikan lagu PETIK RAMBUTAN ini di salah satu piringan hitam mereka.

Di lain bagian, dilantunkan juga lagu KATAK LOMPAT.

Lompat, hai katak lompat Lompat ke dalam paya. Kalau terlampau cepat Boleh dapat bahaya. Elok jalan ke Simpang Dua Kiri kanan berpohon rapat. Elok juga berkawan tua Perut kenyang nasihat dapat.
Sungguh lagu-lagu bersahaja yang gampang diingat. Memberi petuah dan memperkaya kesantunan. Menyuguhkan pesan moral dan mempertinggi budi pekerti. Begitulah rentetan lagu-lagu ciptaan Madong Lubis yang bergulir, yang terus kusimak dengan takjub. Tak kusangka Ompungku ini sedemikian halus jiwanya. Padahal, kalau dia marah karena aku tidak belajar dan lupa membuat huiswerk (pekerjaan rumah), matanya yang merah membuat aku lari bersembunyi ke balik piano.

Ada seorang anak, namanya si Degil Ia suka benar, main bedil-bedil O, meriam tomong, O meriam tomong…. Ada motor siparolet, be-ka spuluh dua Ada zaman meleset, gadis bersanggul dua O, meriam tomong, O meriam tomong….

Lagu MERIAM TOMONG itu juga bukan lagu biasa. Di film Naga Bonar 1, lagu itu menjadi ilustrasi musik untuk menggambarkan kegigihan para pejuang kemerdekaan. Sepupuku pernah mengingatkan, itu lagu bukan ciptaan N.N. alias No Name karena tidak diketahui siapa penciptanya. "Lagu itu ciptaan Ompung kita," katanya.

Hal ini memang perlu diperjelas, tanpa harus memperdebatkan. Apalagi di antara lagu-lagu yang dinyanyikan malam itu, berkumandang juga lagu LANCANG KUNING.

Lancang kuning, Lancang kuning berlayar malam Hei, berlayar malam Lancang kuning, Lancang kuning berlayar malam Hei, berlayar malam Haluan menuju, haluan menuju kelaut dalam Haluan menuju, haluan menuju kelaut dalam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham Hei, kuranglah faham Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham Hei, kuranglah faham Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning, Lancang kuning menerkam badai Hei, menerkam badai Lancang kuning, Lancang kuning menerkam badai Hei, menerkam badai Tali kemudi, tali kemudi berpilih tiga Tali kemudi, tali kemudi berpilih tiga Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam

Aku menduga-duga dan melempar tanya, mengapa lagu LANCANG KUNING juga dinyanyikan di malam itu? Apakah lagu itu juga ciptaan Madong Lubis? Aku tak paham, karena usiaku saat itu bukan usia untuk bertanya. Di tengah-tengah kenakalanku saat kecil di rumah SOPO LUBIS di jalan Sungai Rengas No. 10 itu, aku memang sering melihat Ompung berlatih musik dengan teman-temannya. Salah satu temannya -menurut ibuku- adalah Lili Suheri. Mereka sering memainkan lagu LANCANG KUNING dan lagu-lagu lain.

Tapi apa perduliku? Saat itu masih sekitar tahun 1959 dan usiaku masih delapan tahun. Bergolek-golek di semen di bawah kursi malas Ompung Madong yang terbuat dari rotan saja, aku sudah merasa sentosa, karena pasti tak akan dihardik oleh ayahku yang polisi. Koran bahasa Arab miliknya yang dikirim dari Malaya sering kujadikan alas kepala sehingga dia harus menggelitikku terlebih dulu agar bisa mengambilnya. Dan kalau dia menggesek biolanya dengan perlahan, akupun terlayang-layang mengantuk.

Ah, hari-hari kemarin yang mendebarkan jantung, masih terasa hingga saat ini. Berpuluh-puluh tahun kemudian, bahkan hingga detik ini, jiwaku masih selalu menggeletar jika melantunkan senandung-senandung ciptaannya secara perlahan.

Duhai, andai kubisa menggumamkannya buat kalian!

Bogor, 29 Oktober 2009

Tidak ada komentar: