Senin, September 22, 2008

Semua Karena KehendakNya


Biografi Hedijanto, Bendahara Yayasan Dharmais

Penulis: IzHarry Agusjaya Moenzir

Penyunting: Jaumat Dulhajah

Penyunting Bahasa Jawa: RMH Subanindyo Hadiluwih

Perancang Grafis: Johan Gondokusumo


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Diterbitkan oleh: Biografi Indonesia

ISBN 10: 979-95367-0-7

Cetakan Pertama: Oktober 1997



“………………………pantes agung kang poro prawira,

anirita sakadare,

ing lelabuhanipun,

hawya kongsi buang palupi,

menawa tibeng nista,

ina estinipun senadyan tekading budya,

tan prabeda budi panduming dumadi,

marsudi ing kahutaman.”

- Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (K.G.P.A.A.) Mangkunagoro IV

dalam Kitab Tripama.



Solo, Pasca 1927


1. Uro-uro di Tengah Malam


Sepetak sawah. Sebuah cangkul berlumpur. Dua ekor kerbau dengan bangau kecil yang sering bertengger di punggungnya. Sengatan terik mentari. Dan keringat mengucur membasahi kulit hitam legam.


Semua itu merupakan bagian dari hidup saya di masa kecil. Merupakan pemandangan yang sangat lekat dengan batin. Yaitu bilamana saya duduk di atas punggung kerbau atau berjuntai di dangau yang goyah sembari menarik-narik tali untuk membunyikan kaleng-kaleng kosong. Kerontangnya akan membahana mengejutkan burung-burung pencuri padi. Begitu setiap saat, begitu pula setiap hari.


Ayah saya, Pak Wongsodimejo -demikian dia biasa dipanggil oleh warga desa Tjokrotulung Polanhardjo- adalah seorang petani ulet. Dialah aktor yang memainkan peran utama di tengah-tengah gambaran tadi. Dengan otot-otot bertonjolan, sehingga mengesankan kulitnya akan meletus, Bapak menghabiskan waktu seharian dengan merendam kaki di air berlumpur, membungkuk menanam padi, atau berteriak-teriak hingga parau di belakang alat peluku tanah yang dihela oleh si Hitam dan si Lamban, kedua kerbau milik kami yang banyak berjasa.


Meski hanya sepetak, namun hasil yang dipetik dari kerja keras itulah yang membuat keluarga kami bisa bertahan. Berlima kami -Bapak, Simbok, Mas Kuat, Mbakyu Sukarti dan saya- bisa diberi makan oleh petak sawah gembur itu, sehingga lepas dari rasa lapar yang menggigit, meski tanpa berlauk apa-apa.


Itu sudah hal biasa. Bahkan jika harus makan nasi dengan garam, hidangan itu tetap merupakan menu yang pas. Nasi, sebagai bahan konsumsi utama, bagi saya adalah makanan terlezat di dunia. Apalagi beras yang berasal dari kecamatan Delanggu tempat kami berdomisili.


Hal itu sudah sohor dan diketahui banyak orang. Beras Rojolele yang dihasilkan oleh kabupaten Klaten, dikenal sebagai beras lezat yang gurih. Pakai garam saja sudah enak, apalagi jika dilengkapi dengan sepotong ikan asin dan lauk-pauknya. Tiap satu jam pasti lapar lagi.


Kesuburan kawasan itu memang tak bisa dipisahkan dengan keberadaan Tjokrotulung, sumber air nan tidak habis-habisnya, yang bahkan menjadi sumber air Perusahaan Air Minum di Solo.


Meski lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang melarat, namun saya tak pernah bersungut-sungut. Bapak dan Simbok pun demikian. Mereka selalu menunjukkan wajah cerah dan optimis, percaya bahwa kehidupan yang dipilihkan Tuhan buat mereka adalah takdir yang terbaik. Lebih baik dari apa-apapun di dunia ini.


Sikap hidup nrimo seperti itulah yang menular, sehingga tak sekalipun dari bibir saya pernah terloncat keluh kesah. Tidak sepatahpun. Bukankah perangai itu merupakan cermin sikap hidup orang Jawa yang apa adanya, hidup lumrah tanpa membanding-banding?


Saya tidak tahu persis dari mana sikap nrimo demikian bisa bersarang dalam diri saya. Merasuknya tidak kentara, pelan merayap, namun berhasil membangun kekuatan dalam diri. Pribadi saya menjadi kukuh karena tidak sepigura gambar kehidupan lain pun pernah datang ke dalam diri saya.


Dan saya sendiri juga tidak pernah mengundangnya datang. Seperti pendapat Bapak dan Simbok, kehidupan yang saya terima, walau bagaimanapun nestapanya, tetap merupakan anugerah. Dan anugerah tak boleh ditolak. Apalagi diprotes.


Saya masih ingat di malam-malam sepi yang gelap, saat kami duduk berhimpit-himpit menunggu kantuk datang menyerang. Listrik belum ada di desa, dan hanya kegelapan yang melingkupi. Cahaya yang dipancarkan oleh sentir tak bisa menerangi malam. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Bapak akan selalu uro-uro (menembang atau mocopat, bernyanyi kecil dengan gumam).


“................Yogyaniro, kang para prajurit. Lamun biso anulado. Duk ing nguni caritane. Andeliro sang prabu Sosrobahu. Hing Mahespati, aran patih Suwondo lelabuhanipun. Kang ginelung tri prakoro. Guno koyo lawan den antepi. Nuhoni trah utomo.......”


Suaranya mengembang, naik turun sesantai tarikan napas yang wajar. Tidak ada pemaksaan, mengalir begitu saja.

Tak sengaja, saya mendengar dengan tekun. Tidak mendengar pasti tidak bisa, karena di tengah kesunyian malam tanpa pelita begitu, hanya uro-uro saja yang terdengar. Kadang memang ditingkahi dengan jeritan jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan, namun paduannya melantun harmonis, merasuk ke relung-relung jiwa.


Saya menikmatinya sebagai sebuah nyanyian yang menghimbau. Meski banyak kalimatnya yang saya tidak mengerti karena dilafaskan dalam tutur kromo inggil (bahasa Jawa yang tinggi), namun saya bisa merasakan getar-getar yang dihasilkannya.


Tidak jarang saya langsung bangkit menghampiri dan duduk di bawah lutut bapak.


“Tegese opo to Pak?” Tanya saya lugu.


“Kamu harus ngerti, To. Uro-uro ini bukan hanya nyanyian semata, tetapi juga sebuah ajaran. Panggulowenthah. Tembang Jowo itu memiliki petuah yang harus dipatuhi.”

Saya tak sepenuhnya mengerti. Melihat air muka saya yang masih menyiratkan tanda tanya, Bapak meneruskan kalimatnya.


“Kowe ngerti tegese 'meneng wae', To? Karepe, upomo kowe duwe beras utowo sego, menengo wae. Ojo gembar gembor. Lha yen pinuju ora duwe, ya menengo wae. Lan ojo ngresulo. menengo wae. Kejobo kawi wong urip kudu ngerti pangroso, jen kowe ora seneng marang tumindaking liyan, ojo nganti kowe nduweni tumindak kang mengkono marang liyan. Ojo seneng nabok yen ora gelem ditabok.”


Saya kurang mengerti apa makna yang disampaikan Bapak. Tidak pada waktu itu. Namun sepanjang hidup saya kemudian, kalimat-kalimat Bapak terus datang bertubi-tubi, sehingga akhirnya saya jadi mengerti.


Sekarang saya bersyukur telah banyak mendengar lantunan uro-uro Bapak.


Bersambung ke bagian 2. (Ojo) Meneng Wae


Kamis, September 18, 2008

Melepas Windu Ke-Tujuh


Kulepas windu ke tujuh dengan jejak,
bekas-bekas langkah.
Dia yang telah menggurat hidup dengan lantang.
Aku tiba di titik usia ini setelah mencercah garis panjang,
upaya abadi mencari jati.
Masih ada rindu yang tipis,
terus terasa detak yang lemah,
tetap hadir cinta yang samar.
Tanpa kehadiran sesiapa.
Pepohon Randu terus membuang bunganya.
Kapuk-kapuk melayang menuruni tangga udara.
Hujan yang tetes.
Hari yang gelap.
Rumput kaku menghunjam awan.
Senandung sepi terhambung ke langit,
pilu menyayat.
Suara sendiri begitu nyata,
sangat kentara.


Here, there & everywhere, 31 Agustus 2008

Selasa, September 02, 2008

Tatkala Karakter Terbunuh


I will die in Paris with a sudden shower,

a day I can already remember.

I will die in Paris -and I don't budge-

maybe a Thursday,

like today is, in autumn.

- César Vallejo (1892 - 1938)


Di tengah-tengah keseriusan menulis Angle bertema character assassination, mendadak pikiran saya harus meluncur ke Paris. Hal itu berawal ketika seorang kawan melakukan interupsi dengan menyodorkan koran Kompas.


“Si Djuanda meninggal di Paris,” katanya.


Kontan saya terperangah. Kaget. Langsung menyambar koran yang memuat berita mendukakan hati itu. Tak pelak lagi, Djuanda, pemerhati masalah-masalah intelijen itu memang sudah mangkat. Dari Paris sana, dia ‘pulang’, tinggalkan Indonesia yang sangat dicintainya. Dia tinggalkan seluruh masalah-masalah tanah air yang selalu menjadi tumpuan pemikirannya.


“Kata orang, warga Amerika yang baik jika meninggal dunia akan pergi ke Paris,” ujar nyonya Allonby.

“Ya, sudah tentu. Tapi jika Amerika yang jahat meninggal dunia, kemana mereka pergi?” tanya Lady Hunstanton.

“Oh, mereka tetap di Amerika.” sela Lord Illingworth.


Pokoknya orang baik akan meninggal dunia di Paris, begitu siratan dialog A Woman of No Importance karangan Oscar Wilde. Dan Djuanda memilih Paris, karena hidup memang penuh pilihan. Paris adalah pilihan luar biasa. Ketika penyakit datang menyerang dan bersarang di tubuhnya, teman saya ini berangkat ke Perancis guna berobat di negara tempat dia pernah menjalani masa muda. Tahukah dia bahwa kematian sudah sedemikan dekat dan membayangi dirinya?


Only the good die young, begitu kata-kata orang bijak. Mungkin itu benar. Tapi di ruang kepala saya, wajah Djuanda berputar-putar. Pertemuan kami terakhir pastilah ketika berdiskusi di coffee shop Hotel Sofyan Betawi sekitar dua bulan lalu. Malam itu dia mengikut saya memesan teh manis dingin sebagai minuman ke dua. Seperti biasa, kami berbincang mengenai hal-hal yang mengganggu rasa keadilan. Apa yang ideal dan apa yang terjadi. Semuanya centang-perenang layak kapal pecah. Tidak banyak hal yang jalan sesuai prosedur. Semua membingungkan dan membikin geram. Apakah kita-kita ini punya daya untuk mengubahnya?


Keinginan itu pastilah masih tersimpan rapat di relung-relung syaraf Djuanda. Buku kecilnya yang berjudul Kitab Capaian Politik memuat 48 etape nyata. Menurutnya, “Berpolitik adalah untuk mencapai tujuan yang disebut Capaian Politik. Di masyarakat kita yang merupakan masyarakat warisan, Capaian Politik adalah terejawantahnya kepemilikan, kekuatan, kekuasaan, wilayah, wibawa dan pengaruh, pengikut serta uang. Kenyataan-kenyataan ini seolah abadi mengikuti perkembangan sejarah bangsa dan negara kita, termasuk padanya dalam hubungan internasional. Para pemuda calon pemimpin perlu mengetahui dan memahami realitas politik ini untuk bekalnya dalam belantara politik Indonesia.”


Djuanda adalah teman diskusi yang paling komplit. Bicara dengannya, saya mendapat banyak pengetahuan tanpa harus meletihkan mata tua dengan membaca berjilid-jilid buku. Mendengarnya, saya memperoleh banyak informasi tanpa harus selidik sana, selidik sini. Djuanda adalah encyclopedia berjalan. Ketika menjadi produser dalam acara-acara radio talkshow, saya sering mengundangnya untuk memperkaya perbincangan. Data-datanya bertimbun dan bicaranya lugas. Ceplas-ceplos. Istilah asing, terutama dalam bahasa Perancis sering terdengar. Keberaniannya melancarkan kritik, membuat orang suka. Tapi banyak juga yang tidak suka. Dan Djuanda sangat menyadari bahwa jumlah orang yang menyukainya lebih kecil dibanding yang tidak menyukainya.


Tapi tunggu dulu. Saya ini bingung, belum mendapat jalan untuk mengaitkan ‘kepergian’ Djuanda dengan tulisan tentang character assassination. Padahal kolom Angle ini sudah dikejar deadline. Namun gejolak hati atas kehilangan teman juga harus dilahirkan, meski bukan dalam kolom obituari khusus. Mungkin saya cuma bersedih, sebab kini saya tidak lagi bisa menemukan karakter yang dimiliki Djuanda.


Tadi kawan saya berkata geram, Djuanda bisa jadi dihabisi. Kayak Munir juga. Mungkin diracun. Sesaat pikiran itu juga menyelip masuk ke benak saya. Tapi tampaknya tidak. Saya tahu Djuanda sakit. Dulu ketika menelpon ke apartemennya, saya mendapat jawaban bahwa dia terbaring sakit, tidak bisa menerima telepon. Saya mafhum, karena belakangan itu, tubuh Djuanda semakin hari semakin kurus dan kecil. Dan wajah yang kurang segar.


Jadi, saya menepis dugaan assassination. Jikapun ada unsur pembunuhan di sini, jelas bahwa hidup mantan Letnan Kolonel TNI Angkatan Laut ini telah diakhiri oleh kerusakan hebat pada lever, pankreas dan kelenjar getah bening. Anna, sang kakak, mengatakan Djuanda lebih sering dirawat di ruang ICU Rumah Sakit Georges Pompidou oleh tim dokter ahli Perancis. Keadaan Djuanda memang sangat tidak sehat, meskipun saya bisa tidak percaya, karena suaranya di balik telepon masih tetap lantang.


“Bung, saya masih di Paris, berobat. Nanti saya cari jalan untuk memberi data-data,” ujar Djuanda dua minggu sebelumnya. Memang menurut Anna, kondisi Djuanda sering naik turun, kadang membaik, kadang memburuk. Dua hari sebelum wafat, almarhum mengalami serangan sakit yang hebat di bagian kepala. “Dia bilang dia capek,” ujar Anna. “So very tired.”


Iyalah, siapa sih yang tidak capek dan sakit memikirkan negeri yang amburadul begini? Kecintaan kita yang teramat dalam kepada Indonesia membuat kita terluka. We love too much, and it’s hurt! Kita ingin Indonesia ini cepat-cepat jadi bagus, lekas-lekas bisa makmur, tapi kita lagi-lagi berhadapan dengan berbagai jenis perangai yang tak terpuji. Perangai yang tidak heroik, perangai yang mencla-mencle. Kita mendengus jijik melihat orang yang bisa berbuat apa saja hanya untuk menyelamatkan diri. Certain people are born with natural false teeth, kata Robert Robinson, penulis dan penyiar BBC. Jadi jangan heran sebenarnya, jika sering kalimat-kalimat yang diucapkan juga palsu. Dan jika sudah terdesak, orang-orang model begini akan melemparkan kesalahan ke luar dirinya dan bilang bahwa semua itu adalah ulah pihak-pihak yang ingin melakukan character assassination terhadap dirinya.


Character assassination? Saya teringat Gary Hart ketika dituding berselingkuh dengan Donna Rice. Hart ngotot mengatakan, hubungan mereka platonis, bebas dari nafsu berahi dan cinta. Pada konvensi Asosiasi Penerbit Surat Kabar Amerika di New York Mei 1987, Hart menuding koran Miami Herald menyebarkan berita bohong yang menyesatkan. Istrinya juga membela dengan mengatakan, media sudah melakukan character assassination.


Saya juga teringat Nixon. Dan Watergate. Sekretaris Pers Gedung Putih Ronald Ziegler mati-matian menyangkal dan menuduh koran Washington Post melakukan character assassination. Ini lemparan balik yang diharapkan bisa ampuh. Seperti yang terjadi di Pilipina tahun 1963, ketika Wakil Presiden Emmanuel Pelaez menuduh Presiden Diosdado Macapagal melakukan character assassination karena Pelaez dinyatakan termasuk dalam daftar Stonehill Blue Book, yang menerima dana dari milioner AS, Harry F. Stonehill. Di Indonesia juga demikian. Banyak yang bilang character assassination. Akhir-akhir ini, pengacara Juniver Girsang juga bilang begitu tentang berita-berita terhadap Hary Tanoe yang menjadi klien-nya. Even Pak Sudi Silalahi juga bilang begitu.


Character assassination adalah penyerangan terhadap reputasi seseorang. A deliberate and sustained attack on somebody’s reputation. Tapi dalam berita dan buku-buku yang saya baca, tuduhan character assassination itu jarang terbukti. Jika ada asap, selalu ada api. Itu adalah bagian dari kehidupan. Hidup adalah benturan.


Crash, film pemenang Oscar tahun ini, membuka kisahnya dengan kesadaran itu. Kita berbenturan dengan orang lain. Orang lain membentur kita. Dan kita merindukan hal itu. Sebenarnya hidup ini membutuhkan benturan-benturan agar kita bisa merasakan sesuatu. Dan benturan maksimal adalah kematian. Apakah kematian itu tragis atau indah, kita tinggal mendefinisikan saja.


Penyanyi rock Lou Reed mungkin tidak bercanda saat mengomentari kematian Jim Morrison, penyanyi kelompok The Doors, pada Juli 1971. “Someone told us that Jim Morrison had just died in a bathtub in Paris. And the immediate reaction was, How fabulous, in a bathtub, in Paris, how faaaantastic." He he he......


(Dimuat di Majalah B-Watch No. 9, edisi April 2006)