Sabtu, Agustus 09, 2008

Monyet-Monyet di Antara Kita

The eyes will see no evil colors,
the ears will hear no evil sounds,
the mouth will speak no evil words:
this is the meaning of the foetal education.
- Anonymous




Ada tiga monyet terkenal di dunia. The famous three monkeys. Monyet-monyet itu melakukan gesture yang menyiratkan arti. Yang pertama menutup mata, yang ke dua menutup telinga dan yang terakhir menutup mulut. Ketiganya melakukan hal itu dengan cara menangkupkan kedua telapak tangan di tiga indra penting. Tidak dengan cara menjahit daun telinga, menjahit kelopak mata atau menjahit mulut. Tampaknya sudah sejak awal monyet-monyet itu menyarankan agar manusia tidak melakukan hal itu dengan cara yang keras. Sebab dengan menangkupkan telapak tangan saja sebenarnya sudah merupakan tindakan keras.

Sebenarnya menutup mata cukup dengan memicingkan kelopak. Menutup telinga cukup dengan tidak mempedulikan. Dan menutup mulut cukup dengan mingkem, mengatup bibir. Tetapi kita tidak selalu bisa melakukannya. Perlu telapak tangan untuk menutupnya. Perlu benang dan jarum jahit untuk membuatnya tidak berfungsi. Kita perlu cara baru, inovasi baru dan variasi baru. Ketika sekelompok orang mengeluh dan menjabarkan bahaya berdomisili di bawah Saluran Udara Tegangan Tinggi, atau yang dipopulerkan dengan istilah Sutet, dan Pemerintah berdiam diri, maka menjahit mulut diharapkan bisa mangkus dan sangkil. Di Australia dan di belahan bumi lain konon cara itu pernah berhasil.

Tapi mereka lupa. Ini Indonesia. Negeri 1001 keajaiban. Silahkan gunakan cara baru dalam menyatakan pendapat, tapi belum tentu Indonesia peduli. Silahkan cari inovasi dan variasi baru untuk diperhatikan, Indonesia tidak punya waktu untuk melayani. Indonesia harus moving forward. Kalau you punya protes, simpan saja dulu. Jangan ganggu Indonesia yang ingin berlari meninggalkan keterbelakangannya. Please!

Urusan sutet, PLN toh bisa atasi dengan iklan-iklan mahal di televisi yang mengatakan Sutet tidak berbahaya. Buat apa mengganggu kabinet. Urusan mobilJaguar lupakan saja. Serahkan saja kepada Hary Tanoe untuk mengurusnya, melapor ke polisi dan sebagainya. Maka dengan kewenangan yang diperoleh entah dari dewa langit mana, Eggi Sudjana pun dilaporkan ke Polda Metro dengan tuduhan mencemarkan nama baik Presiden. Kok musti Hary yang lapor? Apa hubungan Boss RCTI ini dengan Presiden? Sebenarnya, tanpa dilapor-laporkan pun, orang yang mencemarkan nama baik Presiden otomatis bisa diperiksa Polri. Apakah Hary cuma ingin unjukkan rasa sayang dan kedekatannya dengan Presiden kepada semua orang?

Tapi Eggi mengambil langkah jitu, langsung minta maaf kepada Presiden. Tidak puas, Hary lapor lagi ke polisi. Kali ini atas pencemaran nama baiknya sendiri. Dan Eggi terima akibat. Meski tidak ditahan, tapi dia dicekal tidak boleh ke luar negeri. Saya bingung melihat relevansi pencemaran nama baik dengan cegah tangkal. Kok?

See No Evil. Jangan lihat hal-hal yang jahat. Sebab dengan melihat hal yang jahat, hati kita yang mudah terpengaruh ini akan terikut-ikut jahat. Melihat PSK menggiurkan diuber-uber kita merasa miris. Teringat lagu Titik Puspa yang berjudul Kupu-Kupu Malam. Begitu sang PSK dapat ditangkap, belasan tangan mulai merangkul seakan-akan takut PSK itu lepas melarikan diri. Tapi seorang teman saya terlanjur merasa mau muntah melihat hal itu yang dinilainya sebagai pelampiasan selera rendah, memegang-megang perempuan dalam kesempatan yang sempit. Mumpung!

Dosakah yang mereka kerjakan, sucikah mereka yang datang? See No Evil! Kalau mau menjadi manusia Indonesia seutuhnya, kita jangan banyak melihat yang bathil. Sehingga kita tak banyak memendam rasa kecewa. Karena hal ini bisa membahayakan kesehatan. Dan jika stamina memburuk, maka salahkan saja formalin. Atau virus flu burung. Mengapa pusing-pusing dengan urusan NCD Bodong yang tak kena-mengena dengan nafas kita sehari-hari? Jadi jangan kecewa meski KPK baru mulai memroses NCD setelah dua tahun menerima berkas laporannya. Tapi jangan pula merasa senang dulu, karena semua baru tahap awal. Belum tentu berhasil.

Talkshow soal NCD di RCTI yang dipandu dengan miskin oleh Arif Suditomo bisa saja tidak hanya mempengaruhi opini masyarakat, tetapi juga mempengaruhi keputusan para petinggi di KPK. After all, semua yang tampil bicara di situ layak koor harmonis dengan suara merdu. Lewat telpon, Goei Siauw Hong bahkan bilang kepada saya: “Hary itu teman saya dan saya yakin dia benar. Saya tidak peduli hal lain di luar itu.” Bahwa jika Dialog Khusus itu dilakukan di televisi yang menggunakan frekuensi milik publik, mereka tidak perduli. Membela kepentingan diri dan bisnis di televisi milik sendiri dianggap sebagai hal wajar, padahal itu salah, karena merupakan pemanfaatan ranah publik. Harusnya tau dong, sampai kapanpun frekuensi itu bukan milik orang per orang, bukan milik RCTI.

Maka malam itu, frekuensi hubungan SMS para insan media berseliweran. Terheran-heran dan merasa kasihan melihat apologi yang dilakukan dengan salah kaprah. Apalagi di akhir acara Hary bilang, bahwa dia diserang dalam banyak hal, dengan berita Jaguar, dengan berita pemakaian dana RCTI Peduli dan NCD Bodong. “Itu semua motifnya uang,” kira-kira begitu apologinya.

Hear No Evil. Jangan dengar hal-hal yang jahat. Inilah pesan monyet ke dua yang menutup kuping. Saya merasa kasihan dengan pernyataan tadi. Begitulah jika semua urusan di dunia ditakar dengan uang. Padahal money can not buy everything. Tidak semua orang bisa dibayar untuk berpihak, tidak semua orang bisa dibeli. Sebaiknya tutup kuping sajalah untuk urusan ini. Hear no evil! KPK terutama, yang harus tidak terpengaruh atas pendapat para pembicara yang belum tentu bisa disebut pakar di Dialog NCD. Bahkan konon pakar pun bisa salah. Tulikan saja telinga. Karena dengan mendengar, kita bisa terpengaruh. Saya khawatir kalbu kita yang putih akan tercoreng, atau tersedot masuk dalam lingkar pikiran orang lain yang belum tentu benar. Kita bisa teranja-anja. Karena kebenaran tidak pernah jadi milik manusia, tidak di dunia, tidak di Pengadilan Tinggi, tidak di MA dan tidak di mana-mana. Kebenaran itu milik Tuhan. Akan lebih celaka lagi jika kita yang mendengar kemudian menanggapi dan melakukan reaksi untuk hal yang jelas bukan urusan kita.

Speak no evil. Jangan bicara tentang hal-hal yang jahat. Lakukan saja GTM, Gerakan Tutup Mulut. Silence is golden. Talking is cheap, people follow like sheep, even know there is nowhere to go. Kalau DPR memanggil, dan kita terpaksa tidak bisa melakukan GTM, bilang saja bahwa tidak ada sebersit niat pun dari diri kita untuk mencari kambing hitam. Tegaskan dengan jelas. Walaupun akhirnya bawahan juga yang diperiksa dan menerima risiko lebih besar. Disertijabkan dan dibangkucadangkan dengan janji agar minggir dulu satu-dua tahun. Nanti dicarikan yang lebih baik. Ini demi nama baik korps dan untuk kepentingan yang lebih besar. Indonesia harus moving forward. Atasan tak perlu bertanggungjawab, karena di pundaknya masih ada pekerjaan yang lebih besar.

Keep thy tongue from evil, and thy lips from speaking guile. Depart from evil, and do good; seek peace, and pursue it. Kalimat ini termuat dalam King James Bible, Psalms 34:13-14. Sudah banyak yang bicara begini, tapi kita selalu mengulang-ulang bicara. Sampai akhirnya semua orang akan berpikir bahwa langkah menjahit mulut itu adalah hal yang biasa. Orang di mana-mana banyak yang mati kok, jadi buat apa risau?

See no evil, hear no evil sounds, speak no evil. Monyet-monyet itu memberi pesan moral agar kita bisa menjaga batin, karena mereka tahu, banyak di antara kita yang lebih monyet daripada mereka.

Dimuat di majalah B-Watch, edisi No. 8, Maret 2006

Tidak ada komentar: