2. Tinggal Gelanggang Colong Melayu
Inilah pekan-pekan yang menyentak dunia. Kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi di antero nusantara telah menyita seluruh energi saya. Waktu tidur pun terganggu. Mimpi jadi buruk. Sejak kembali dari Kairo, secara total tidak ada urusan pribadi yang sempat saya pikirkan. Walau tubuh berada di Cendana, namun pikiran saya berada di seluruh pelosok nusantara. Ikut berbaris dengan para mahasiswa, bernyanyi dalam arus reformasi.
Reformasi sesungguhnya merupakan kata yang indah. Saya setuju dan tidak melihat ada yang salah daripadanya.
Saya patut mengasihani suasana itu. Inilah kali pertama mereka mencoba bicara terbuka dengan kalimat-kalimat yang -menurut hemat mereka- akan bertentangan dengan perasaan saya.
Dan sayapun tidak harus dan tidak akan menolak. Sama seperti ketika dulu mereka datang membawa suara rakyat, yang kata mereka, masih menginginkan saya memimpin pemerintahan. Minta jadi Presiden lagi, meski saya sudah merasa renta. Sementara dunia muda ini telah banyak berubah. Diri sayapun sudah beda. Jadi presiden hingga 2003, apakah saya mampu? Pekerjaan itu terlalu berat bagi seorang sepuh seperti saya.
Saya ingin menolak. Saya tanyakan berulang kali kepada Harmoko, apakah benar rakyat
Mereka bilang, semua pihak berpendapat sama. Bahkan kekuatan sosial politik, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata mengatakan, adalah benar sebagian besar daripada rakyat masih menghendaki saya dan meminta agar saya menerima pencalonan sebagai Presiden untuk masa bakti 1998-2003.
Jika sudah demikian, apa yang dapat saya katakan? Baiklah. Kalau memang demikian, tentu saya akan terima semuanya itu dengan rasa tanggung jawab. Ini perlu digarisbawahi. Saya menerima pencalonan itu bukan karena kedudukan, tapi karena tanggung jawab. Lebih-lebih pada saat bangsa ini sedang menghadapi kesulitan akibat berbagai krisis. Rasa-rasanya, kalau saya meninggalkan begitu saja, saya lantas disebut sebagai tinggal gelanggang colong melayu, meninggalkan keadaan padahal saya masih harus turut bertanggung jawab.
Harmoko dan teman-temannya seharusnya melihat gelagat ini. Saya masih menerima mereka dengan senyum dan keramahan, meski sudah terdengar berita selentingan, mereka telah berancang-ancang untuk meminta saya mundur. Di sini, di bumi
Meski sungkan, mereka paksakan mulut untuk bicara.
"Maaf Pak, apakah susunan kabinet dapat diubah?”
Saya tatap mata mereka satu persatu. Mengapa tidak? Meski itu merupakan kewenangan saya sebagai Presiden, namun usul itu perlu dihargai. Untuk rakyat, saya akan segera membentuk kabinet baru yang bernuansa reformasi. Sebagai Kepala Negara, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin. Apapun akan saya setujui, jika niatnya memang baik. Menurunkan lebih dari separuh wajah-wajah yang ada di Kabinet Pembangunan VII pun, bagi saya tidak masalah. Tuntutan rakyat harus didengar, terutama terhadap Menteri-Menteri yang menurut penglihatan mereka tidak banyak membantu, malah sering merepotkan posisi saya sebagai pemimpin bangsa.
Padahal sebenarnya, mengganti seorang pejabat bukan pekerjaan mudah. Saya selalu tidak tega. Pikiran saya masih manusia dan demikian juga perasaan saya. Hal-hal yang tidak perlu masuk pertimbangan, secara tidak sengaja sering menyusup masuk ke dalam pemikiran, memenuhi perasaan. Saya coba melawannya, namun sering gagal. Mungkin inilah salah satu kejelekan saya, karena sejak masih berdinas aktif di kemiliteran, saya tidak pernah bisa menimpa kesalahan kepada anak buah. Jika ada sesuatu yang tidak beres, secara jantan saya akan mengakui hal itu sebagai tanggung jawab saya.
“Bagaimana jika diadakan Sidang Istimewa, Pak?” tanya mereka lagi.
Saya lebarkan mata menatap wajah mereka, satu persatu.
Semua untuk tanah air tercinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar