Sabtu, Agustus 09, 2008

Biografi Rinto Harahap


2. Pasanggerahan Penuh Cinta


Dalam samar dan kabur, terlihat bayang-bayang berpendar. Sore rembang dan surya melemah, melarutkan aku dalam sadar dan alpa. Ada sosok Bapak di sana. Berdiri di depan tempatnya bekerja, Kantor Cabang Bank Negara Indonesia 1946. Berkemeja putih, celana komprang dan sisiran berlicau sebak ke belakang. Senyum kecil mengambang di bibir, pantulan rasa bangga yang semayam di dada. Itulah 1949. Kurun waktu yang menyirat duka. Belanda merasuk dengan Aksi Militer II, ingin membuat Bumi Pertiwi jadi milik mereka lagi. Gelombang pengungsian bergulung-gulung. Arus penduduk mengalir memenuhi pedalaman yang dinilai lebih lambat menerima perubahan. Belanda musti ditentang, harus dielakkan.


Zaman susah. Suasana tak selalu pasti. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan menit dan detik. Panglima Besar Sudirman bergerilya ke hutan. Bung Karno dibuang ke Parapat. Dan James Warren Harahap dipindahkan ke Sibolga. Bapakku itu diangkat sebagai Kepala Kantor. Aneh. Ketika orang lain menuruni grafik kehidupan, Bapak sedang merangkak naik. Pekerjaan baru adalah awal kebangkitan untuk menapak karir lebih jelas. Sejak tamat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs; Sekolah Menengah Pertama), Bapak memang sudah menyimpan cita-cita untuk jadi bankir. Dan mimpi itu wujud.


Selaras dengan penempatan baru di Sibolga, kehidupan keluarga berangsur menapak ke tingkat sederhana. Nasib sepasang anak, Ratna Dewi dan Erwin Parlindungan yang masih usia empat dan tiga tahun, mulai bisa dijamin. Biaya menuntut ilmu di sekolah bergengsi sudah bisa disimpan. Makanan ada, sandang cukup. Jika sakit, biaya cadangan dapat menutup perobatan. Rumah bukan masalah. Bapak memperoleh izin menempati pasanggerahan yang berfungsi sebagai Mess Karyawan BNI. Ada beberapa keluarga tinggal di sana. Meski berbagi, namun pasanggerahan separuh batu itu sangat layak untuk didiami. Ruangan besar, berpintu dan berjendela lebar. Halaman luas berpasir pantai. Perdu berbunga melingkar rapi, sungai kecil berbatuan, damai menyuarakan gemericik air.


Tiada yang membuat risau. Ada cinta di sana, membara bersama kesederhanaan, identik dengan kenyamanan. Hujan tak membasahkan, panas tak membakar. Di atas kepala, atap bermodel rumah Batak menaungi. Sewa gratis, tak perlu bayar, semua tanggungan kantor.


Di tengah gambaran itulah aku hadir. Mamakku, Siti Raya boru Tobing yang berasal dari Tarutung, memberi nama Rinto buatku. Singkat, tapi penuh kasih sayang.


“Kau gondut, lucu dan bulat,” katanya.


Itu adalah bagian cerita yang kusimak di kemudian hari. Ucapan itu bisa dipercaya, karena jika aku mundur ke belakang sejauh-jauh jangkauan pikiran, yang teringat hanyalah kebiasaan duduk di anak tangga teratas rumah, menunggu Ompung Harahap bersambang membawa pulut dan Pisang Raja goreng. Sebungkus setiap pagi. Jika suaranya menyambar daun telinga, aku pun langsung teriak, lari menyongsong bawaannya dan sekaligus mendorong pulut dan Pisang Raja goreng itu masuk tenggorokan.


Selebihnya gelap. Pengetahuanku tentang Sibolga nol. Baru dalam perjalanan nostalgia inilah, kutahu letak geografisnya yang terkungkung pegunungan berbentuk huruf U. Pada bagian atas huruf itu, laut meluas hingga ke horison. Ada pulau-pulau kecil di mulut teluk, mencuat keluar dari samudra bagai bongkahan tanah. Poncan (Pulau) Gadang, Poncan Ketek, Mursala dan Nasi Situngkus. Keindahan yang tiada berbagi. Terutama di petang hari, ketika mentari meluncur turun di balik laut. Lautan Hindia selalu bergelora. Tak pernah diam dan tidur. Debur ombaknya memukul-mukul garis pantai, menerjang daratan dengan taat dan kejam. Ada kengerian jika menatapnya. Perasaan mengerdil dan jiwa takluk menekuk lutut pada kekuatan alam yang sarat misteri. Dan jika malam jatuh menggelap bumi, keluasan air memancarkan daya magis yang kental, menyedot jiwa peka manusia masuk ke dasarnya. Bawah sadarku dirasuki, jala-jala rasa tergugah.


Alangkah kucinta laut itu. Lahir di ibukota Tapanuli Tengah yang baur dan heterogen ini, aku merasa menemu serpihan diri tercerai-berai, berpadu dengan penduduk dari berbagai daerah yang berkumpul di sini. Berkomunikasi dalam perbedaan dengan masyarakat campuran Batak dan Padang yang berdialek khas, dilafaskan dalam bahasa pesisir yang ramah. Enak di kuping, elok di lidah. Lugas dalam komunikasi.Meski terlarut, di rumah, kami tak banyak menggunakan bahasa munak-munak (Kau, kamu, kalian. Bahasa pesisir daerah.) Dalam keseharian, kami bicara dalam bahasa Indonesia. Sementara untuk hal-hal yang tak perlu diketahui anak-anak, Bapak dan Mamak memakai. Kebiasaan inilah yang membuat aku menjadi kurang fasih berbahasa Batak. Bisa memahami, tapi sedikit kagok jika bicara.


(Bersambung ke Bagian 3. Saat Bernyanyi, Saat Bermanja)

Tidak ada komentar: