Sabtu, Agustus 09, 2008

GESANG: 3. Sumirah, Sang Ibu Tiri


Nestapa yang menggayuti hati bapak tak boleh dibiarkan berlangsung lama. Ini bukan pendapatku, hanya berupa kisah yang disampaikan mbakyu Jumirah ketika aku sudah dewasa. Pria sehat berusia relatif muda dengan moril dan materi yang bisa dipertanggungjawabkan, tak sepatutnya menjalani hidup sendiri. Manusia butuh pasangan untuk mengukuhkan eksistensi, sekaligus menciptakan perbawa. Apalagi dengan lima anak yang masih kecil-kecil, pastilah bapak sangat kerepotan.


Maka dua tahun setelah ibu Sumidah berpulang, bapak menyambung tali perkawinan yang terputus. Dia membawa Sumirah dalam hidupnya. Diajaknya wanita ulet itu ke tengah kehidupan di Singosaren, menjadi pengganti ibu kandung kami yang hilang.


Dalam peristilahan kata, ibu Sumirah adalah seorang ibu tiri. Namun dalam keseharian, sosoknya tidak seperti penggambaran cerita dongeng kanak-kanak. Wanita pengabdi itu mengisi kehidupan kami dengan penuh. Dia merupakan ibu pengganti, melakukan hal yang sama seperti ibu kandung kami. Perhatiannya serupa dan perannya juga tak beda. Rasa kasih yang dicurahkan membuat kami menilainya layak ibu kandung sendiri.


Kehadiran istri baru ternyata berpengaruh besar bagi bapak. Terutama dalam menjalankan roda usaha yang sempat tersendat-sendat. Ibu Sumirah terlihat cekat dalam urusan perbatikan, mulai dari penyiapan mori sampai pengecapan, hingga siap jual untuk dipakai para pembeli. Lewat tutur yang memikat, ibu bisa menjual dengan sangat mudah.


Aku mengagumi ibu baruku. Sebagai bungsu yang tak bisa ditinggal sendiri di rumah, dia sering mengajakku menjajakan batik dagangan. Dan aku selalu terlongo heran melihat caranya menjual. Seakan membalik telapak, batik-batik itu segera berpindah tangan. Tunai atau angsur, yang jelas bakul bawaannya kerap kosong ketika pulang ke rumah di sore hari.


Hal itu pastilah disebabkan oleh kemauannya yang kuat, ditambah dengan semangat tak kenal menyerah. Kulitnya selalu berhias butir-butir keringat, layak berlian-berlian kecil yang menempel secara alami. Meski gerakannya lugas dan wajahnya keras, namun sorot matanya adalah kasih. Bibir lebarnya indah terukir jika tersenyum kepada sesiapa yang menyapa. Tak pernah mengeluh, apalagi mengeluarkan umpatan.


Aku ingin seperti ibu Sumirah, namun kemampuanku yang terbatas tak pernah bisa mengadaptasi kepiawaiannya. Aku memang tak berbakat menjadi pedagang batik, meski pekerjaan itu sudah dirancang untukku. Sementara para mas dan mbakyuku sibuk membantu pengecapan batik, aku lebih memilih termenung dan rengeng-rengeng sendirian.


Ibu Sumirah melahirkan adik-adik baru buatku, yaitu Ingram, Dahlan, Nurochma, Rokayah, Thoyib dan Nurjanah. Aku bahagia. Mereka adalah teman bermain paling mengasyikkan. Kami berangkat besar bersama, di bawah siraman kasih sayang orangtua yang tidak pernah membeda-bedakan rasa sayang. Semua mendapat porsi sesuai.


Di lingkungan Kampung Pasar Pon, keluarga kami adalah contoh keharmonisan. Rumah besar, usaha batik maju dan kehidupan terjamin. Bapak memang bukan saudagar kaya berlimpah uang, namun untuk hidup di atas kelayakan, bukanlah suatu impian. Dengan penghasilannya yang memadai, dia bisa menjamin perut, sekolah dan sandang yang kami kenakan. Anak-anak tak perlu bekerja keras untuk hidup, karena semua telah disediakan bapak. Urusan kami hanya belajar dan bermain.

Bersambung ke: 4. Terbang Bersama Deru Angin

Tidak ada komentar: