Sabtu, Agustus 23, 2008

The Beach of Le Grandeur


Menyerahkan sosok kepada keterbukaan

itulah sore

tatkala pantai memboyongku

dalam alun lari merambat mengejar.


Melepaskan diri dari keterikatan

itulah magrib

ketika desis ombak berkepala buih

menyuarakan ketenangan.


Menghadapi laut

mendudukkan gelimang sepi pada kursi kayu

dan menyerakkan sunyi di pasir yang basah,

kuhirup kesendirian yang ragu terbata-bata.


Inilah malam. Cuma aku di sini.

Balikpapan, 21 Agustus 2008, 19:00 WITA

Selasa, Agustus 12, 2008

Silence is Worst


“Dialogue cannot create the need to change,

but it certainly facilitates the process of change.

- Edgar H. Schein


Seandainya ada ketentuan umum tentang komunikasi, maka akan terlihat, manusia tidak akan pernah bisa berkomunikasi semangkus dan sesangkil yang ada dalam pikirannya. Demikian Charles Handy dalam buku Understanding Organisations.


Tidak bisa efisien dan efektif, begitu ditegaskan oleh tokoh pendidik Inggeris ini. Karena pada dasarnya komunikasi bukanlah hal yang mudah dan gampang dilakukan. Komunikasi dapat mempererat hubungan, sekaligus dapat membuat jurang antar pihak. Ini adalah proses pemerataan gagasan, informasi dan pesan dengan pihak lain dalam waktu serta tempat tertentu. Semua itu terdapat pada komunikasi non-verbal, komunikasi visual dan komunikasi elektronik.


Komunikasi merupakan perangkat vital dalam kehidupan pribadi manusia dan sangat dibutuhkan di bidang bisnis, pendidikan, pemerintahan serta segala bentuk situasi yang menghubungkan antar manusia. Keharmonisan adalah kata kunci untuk suksesnya komunikasi, sementara komunikasi yang perlu dibangun bukanlah barang mati statis tidak bergerak, tetapi harus selalu dipelihara agar tetap menggeliat. Dan hidup.


Mungkin hal inilah yang masih terjadi di Indonesia saat ini. Ketika agenda hari kerja semakin ketat sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi non-verbal dan komunikasi visual, maka yang terjadi haruslah komunikasi elektronik. Dengan kata lain, seharusnya yang berdering adalah pesawat telpon.


Let your fingers do the walking, begitu semboyan buku Yellow Pages. Kalimat ini mengandung makna bahwa bagaimanapun repotnya manusia dalam rutinitas tugas sehari-hari, komunikasi tidak boleh putus. Di kota-kota besar dunia, komunikasi harus selalu berjalan. Komunikasi masih bisa terpelihara dengan penggunaan pesawat telepon, baik fixed maupun cellular. Atau jika tidak bisa juga, masih ada Short Message Service (SMS) yang bisa menyambung silaturahmi.


Sebenarnya alangkah mudah hidup kita di zaman kini. Tak perlu teriak-teriak untuk bilang sesuatu dan tak perlu heboh mencari kawan berbincang. Sekarang, setiap manusia punya nomor pribadi, bahkan dua atau tiga, sesuatu hal yang tak masuk akal jika kita pikirkan sekitar 10 tahun lalu. Lantas, apa susahnya sih?


Mungkin sulitnya bukan pada sarana penunjang seperti itu, melainkan terletak pada hati. Hati manusia, hati kita masing-masing yang -oleh karena sesuatu dan lain hal- agak merasa enggan angkat suara. Penyebab keengganan itu banyak, tak ada yang bisa merabanya. Dan setiap orang punya dasar dan alasan sendiri untuk tidak melakukan komunikasi. Silence is golden, kata orang.


Tapi itu tidak seluruhnya betul. Sebenarnya, berdiam diri dan tidak berkomunikasi adalah hal yang sangat jelek. Silence is worst. Dengan berdiam diri, maka manusia akan membiarkan pikirannya berjalan-jalan dan masuk ke tanggapan yang negatif. Suudhzon.


Maka berbicaralah. Berkata-kata dan berkomunikasilah. Meski semua orang tau berkomunikasi itu sulit, namun tetap harus dilakukan, agar suasana menjadi cair, akrab dan dapat dimengerti. Jika setiap departemen saling bicara dan setiap lembaga ikut urun rembuk dalam komunikasi yang terbuka, niscaya Indonesia akan semakin molek, semakin indah, lepas dari keruwetan.


Karena, mengutip Edgar H. Schein yang mengatakan, “Dialogue cannot create the need to change, but it certainly facilitates the process of change. Dan kita harus larut dalam proses itu.


(Dimuat untuk Kolom JUST THINK di Majalah Marine Business, Edisi Agustus 2008)

Dingin yang Mendekap Erat


Sebuah ketiadaan terpental-pental menimpa ubun

ketika laut mengirimkan angin ke ketinggian ini.


Di Jakyakdo,

kumelepas segala yang membelit.

Tanpa wajah aku datang

tanpa hati aku pergi.


Di sela-sela hutan bambu

ada terdengar suara sunyi bergemerisik

menyusuri helai rambut dan bibir yang perih.


Toh aku tak melihat siapa-siapa.

Pinus-pinus tua yang tegar berdiri menampar pipiku berkali-kali

mengajak siuman

membujuk keharuan.


Tetap: kau tak ada di sini.

Kesentosaan adalah kehahikian

dan kau memang tak pernah ada di sini.


Cuma dingin dan jaket yang mendekapku

Erat.

Incheon, Korea Selatan, 22 November 2006

Senin, Agustus 11, 2008

GONJING (Unauthorized Biography of Soeharto)


2. Tinggal Gelanggang Colong Melayu


Inilah pekan-pekan yang menyentak dunia. Kerusuhan demi kerusuhan yang terjadi di antero nusantara telah menyita seluruh energi saya. Waktu tidur pun terganggu. Mimpi jadi buruk. Sejak kembali dari Kairo, secara total tidak ada urusan pribadi yang sempat saya pikirkan. Walau tubuh berada di Cendana, namun pikiran saya berada di seluruh pelosok nusantara. Ikut berbaris dengan para mahasiswa, bernyanyi dalam arus reformasi.


Reformasi sesungguhnya merupakan kata yang indah. Saya setuju dan tidak melihat ada yang salah daripadanya. Para unsur pimpinan MPR dan DPR yang saya terima Sabtu 10 Mei lalu juga mengisyaratkan hal yang sama. Selama 90 menit, mereka tuturkan segala sesuatu yang mereka sebut sebagai aspirasi masyarakat. Harmoko, Syarwan, Fatimah, Gafur, Irsyad dan teman-temannya meminta agar saya segera melakukan reformasi dan upaya perbaikan di berbagai bidang, politik, ekonomi dan hukum.


Saya patut mengasihani suasana itu. Inilah kali pertama mereka mencoba bicara terbuka dengan kalimat-kalimat yang -menurut hemat mereka- akan bertentangan dengan perasaan saya. Ada keberanian yang dibesar-besarkan, ada kalimat yang dipaksakan untuk menyatakan berbagai refleksi di tengah masyarakat. Dengan punggung terdorong tangan-tangan kuat yang tak terlihat, mereka maju untuk bicara kepada saya. Mereka kira semua itu akan menyinggung perasaan dan keberadaan saya. Padahal tidak. Mereka tidak salah. Jika rakyat sudah berkehendak, walau langit runtuh mereka harus bersuara. Bukankah itu tugas mereka sebagai wakil rakyat? Mengapa harus ragu?


Dan sayapun tidak harus dan tidak akan menolak. Sama seperti ketika dulu mereka datang membawa suara rakyat, yang kata mereka, masih menginginkan saya memimpin pemerintahan. Minta jadi Presiden lagi, meski saya sudah merasa renta. Sementara dunia muda ini telah banyak berubah. Diri sayapun sudah beda. Jadi presiden hingga 2003, apakah saya mampu? Pekerjaan itu terlalu berat bagi seorang sepuh seperti saya.


Saya ingin menolak. Saya tanyakan berulang kali kepada Harmoko, apakah benar rakyat Indonesia masih percaya pada saya? Saya sudah berusia 77 tahun. Saya ingatkan, agar supaya di-cek benar-benarlah daripada semuanya itu. Tetapi Harmoko dan teman-temannya tegar dan yakin. Sebagai unsur pimpinan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, tentulah mereka lebih jeli dan mengetahui apa yang bersarang di hati rakyat.


Mereka bilang, semua pihak berpendapat sama. Bahkan kekuatan sosial politik, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, Golongan Karya dan Angkatan Bersenjata mengatakan, adalah benar sebagian besar daripada rakyat masih menghendaki saya dan meminta agar saya menerima pencalonan sebagai Presiden untuk masa bakti 1998-2003.


Jika sudah demikian, apa yang dapat saya katakan? Baiklah. Kalau memang demikian, tentu saya akan terima semuanya itu dengan rasa tanggung jawab. Ini perlu digarisbawahi. Saya menerima pencalonan itu bukan karena kedudukan, tapi karena tanggung jawab. Lebih-lebih pada saat bangsa ini sedang menghadapi kesulitan akibat berbagai krisis. Rasa-rasanya, kalau saya meninggalkan begitu saja, saya lantas disebut sebagai tinggal gelanggang colong melayu, meninggalkan keadaan padahal saya masih harus turut bertanggung jawab.


Harmoko dan teman-temannya seharusnya melihat gelagat ini. Saya masih menerima mereka dengan senyum dan keramahan, meski sudah terdengar berita selentingan, mereka telah berancang-ancang untuk meminta saya mundur. Di sini, di bumi Indonesia yang merdeka ini, mereka bebas bicara. Hanya saja, apakah mereka tahu mana ekspresi yang benar dan mana yang salah?


Meski sungkan, mereka paksakan mulut untuk bicara.


"Maaf Pak, apakah susunan kabinet dapat diubah?”


Saya tatap mata mereka satu persatu. Mengapa tidak? Meski itu merupakan kewenangan saya sebagai Presiden, namun usul itu perlu dihargai. Untuk rakyat, saya akan segera membentuk kabinet baru yang bernuansa reformasi. Sebagai Kepala Negara, saya akan melaksanakan dan memimpin reformasi nasional secepat mungkin. Apapun akan saya setujui, jika niatnya memang baik. Menurunkan lebih dari separuh wajah-wajah yang ada di Kabinet Pembangunan VII pun, bagi saya tidak masalah. Tuntutan rakyat harus didengar, terutama terhadap Menteri-Menteri yang menurut penglihatan mereka tidak banyak membantu, malah sering merepotkan posisi saya sebagai pemimpin bangsa.


Padahal sebenarnya, mengganti seorang pejabat bukan pekerjaan mudah. Saya selalu tidak tega. Pikiran saya masih manusia dan demikian juga perasaan saya. Hal-hal yang tidak perlu masuk pertimbangan, secara tidak sengaja sering menyusup masuk ke dalam pemikiran, memenuhi perasaan. Saya coba melawannya, namun sering gagal. Mungkin inilah salah satu kejelekan saya, karena sejak masih berdinas aktif di kemiliteran, saya tidak pernah bisa menimpa kesalahan kepada anak buah. Jika ada sesuatu yang tidak beres, secara jantan saya akan mengakui hal itu sebagai tanggung jawab saya.


“Bagaimana jika diadakan Sidang Istimewa, Pak?” tanya mereka lagi.


Saya lebarkan mata menatap wajah mereka, satu persatu. Ada batin yang bergetar. Tapi saya kira tidak masalah. Akan saya ambil langkah-langkah kewenangan apapun demi keselamatan daripada bangsa dan negara. Hak hidup warga negara harus dilindungi, termasuk harta dan hak milik rakyat. Saya berkewajiban untuk mengamankan pembangunan dan asset nasional. Dan di atas segalanya, saya harus bertanggung jawab untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, mengamankan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.


Semua untuk tanah air tercinta.


(Bersambung ke Bagian 3. Kesiapan Untuk Lengser)

Sabtu, Agustus 09, 2008

Biografi Rinto Harahap


2. Pasanggerahan Penuh Cinta


Dalam samar dan kabur, terlihat bayang-bayang berpendar. Sore rembang dan surya melemah, melarutkan aku dalam sadar dan alpa. Ada sosok Bapak di sana. Berdiri di depan tempatnya bekerja, Kantor Cabang Bank Negara Indonesia 1946. Berkemeja putih, celana komprang dan sisiran berlicau sebak ke belakang. Senyum kecil mengambang di bibir, pantulan rasa bangga yang semayam di dada. Itulah 1949. Kurun waktu yang menyirat duka. Belanda merasuk dengan Aksi Militer II, ingin membuat Bumi Pertiwi jadi milik mereka lagi. Gelombang pengungsian bergulung-gulung. Arus penduduk mengalir memenuhi pedalaman yang dinilai lebih lambat menerima perubahan. Belanda musti ditentang, harus dielakkan.


Zaman susah. Suasana tak selalu pasti. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan menit dan detik. Panglima Besar Sudirman bergerilya ke hutan. Bung Karno dibuang ke Parapat. Dan James Warren Harahap dipindahkan ke Sibolga. Bapakku itu diangkat sebagai Kepala Kantor. Aneh. Ketika orang lain menuruni grafik kehidupan, Bapak sedang merangkak naik. Pekerjaan baru adalah awal kebangkitan untuk menapak karir lebih jelas. Sejak tamat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs; Sekolah Menengah Pertama), Bapak memang sudah menyimpan cita-cita untuk jadi bankir. Dan mimpi itu wujud.


Selaras dengan penempatan baru di Sibolga, kehidupan keluarga berangsur menapak ke tingkat sederhana. Nasib sepasang anak, Ratna Dewi dan Erwin Parlindungan yang masih usia empat dan tiga tahun, mulai bisa dijamin. Biaya menuntut ilmu di sekolah bergengsi sudah bisa disimpan. Makanan ada, sandang cukup. Jika sakit, biaya cadangan dapat menutup perobatan. Rumah bukan masalah. Bapak memperoleh izin menempati pasanggerahan yang berfungsi sebagai Mess Karyawan BNI. Ada beberapa keluarga tinggal di sana. Meski berbagi, namun pasanggerahan separuh batu itu sangat layak untuk didiami. Ruangan besar, berpintu dan berjendela lebar. Halaman luas berpasir pantai. Perdu berbunga melingkar rapi, sungai kecil berbatuan, damai menyuarakan gemericik air.


Tiada yang membuat risau. Ada cinta di sana, membara bersama kesederhanaan, identik dengan kenyamanan. Hujan tak membasahkan, panas tak membakar. Di atas kepala, atap bermodel rumah Batak menaungi. Sewa gratis, tak perlu bayar, semua tanggungan kantor.


Di tengah gambaran itulah aku hadir. Mamakku, Siti Raya boru Tobing yang berasal dari Tarutung, memberi nama Rinto buatku. Singkat, tapi penuh kasih sayang.


“Kau gondut, lucu dan bulat,” katanya.


Itu adalah bagian cerita yang kusimak di kemudian hari. Ucapan itu bisa dipercaya, karena jika aku mundur ke belakang sejauh-jauh jangkauan pikiran, yang teringat hanyalah kebiasaan duduk di anak tangga teratas rumah, menunggu Ompung Harahap bersambang membawa pulut dan Pisang Raja goreng. Sebungkus setiap pagi. Jika suaranya menyambar daun telinga, aku pun langsung teriak, lari menyongsong bawaannya dan sekaligus mendorong pulut dan Pisang Raja goreng itu masuk tenggorokan.


Selebihnya gelap. Pengetahuanku tentang Sibolga nol. Baru dalam perjalanan nostalgia inilah, kutahu letak geografisnya yang terkungkung pegunungan berbentuk huruf U. Pada bagian atas huruf itu, laut meluas hingga ke horison. Ada pulau-pulau kecil di mulut teluk, mencuat keluar dari samudra bagai bongkahan tanah. Poncan (Pulau) Gadang, Poncan Ketek, Mursala dan Nasi Situngkus. Keindahan yang tiada berbagi. Terutama di petang hari, ketika mentari meluncur turun di balik laut. Lautan Hindia selalu bergelora. Tak pernah diam dan tidur. Debur ombaknya memukul-mukul garis pantai, menerjang daratan dengan taat dan kejam. Ada kengerian jika menatapnya. Perasaan mengerdil dan jiwa takluk menekuk lutut pada kekuatan alam yang sarat misteri. Dan jika malam jatuh menggelap bumi, keluasan air memancarkan daya magis yang kental, menyedot jiwa peka manusia masuk ke dasarnya. Bawah sadarku dirasuki, jala-jala rasa tergugah.


Alangkah kucinta laut itu. Lahir di ibukota Tapanuli Tengah yang baur dan heterogen ini, aku merasa menemu serpihan diri tercerai-berai, berpadu dengan penduduk dari berbagai daerah yang berkumpul di sini. Berkomunikasi dalam perbedaan dengan masyarakat campuran Batak dan Padang yang berdialek khas, dilafaskan dalam bahasa pesisir yang ramah. Enak di kuping, elok di lidah. Lugas dalam komunikasi.Meski terlarut, di rumah, kami tak banyak menggunakan bahasa munak-munak (Kau, kamu, kalian. Bahasa pesisir daerah.) Dalam keseharian, kami bicara dalam bahasa Indonesia. Sementara untuk hal-hal yang tak perlu diketahui anak-anak, Bapak dan Mamak memakai. Kebiasaan inilah yang membuat aku menjadi kurang fasih berbahasa Batak. Bisa memahami, tapi sedikit kagok jika bicara.


(Bersambung ke Bagian 3. Saat Bernyanyi, Saat Bermanja)

Biografi Tengku Nurdin

2. Berbaur dengan Masyarakat Awam


Ibu saya bernama Tengku Chazanah. Ayah menikahinya pada tanggal 19 Desember 1919. Pernikahan itu dikurniai sepuluh anak, delapan pria dan dua wanita. Saya adalah anak ke dua, lahir pada tanggal 6 November 1922.


Kami adalah sebuah keluarga besar. Seperti juga para kerabat Sultan, rumah kami berada di lingkungan istana dengan halaman yang luas. Bangunannya bertingkat dua dan sangat kukuh dengan dinding batu dan atap genteng. Lokasi persisnya adalah sekitar 100 meter dari Simpang Tiga ke arah Pantai Cermin. Memang tidak semegah istana, namun bagi saya rumah itu sangat besar, terutama jika dibanding dengan rumah-rumah masa kini.


Meski tidak langsung beratokkan Sultan Serdang, namun kemewahan hidup sangat melimpahi saya. Perlakuan yang diberikan kepada saya sama besar dan istimewanya dengan yang diberikan kepada cucu-cucu lain. Sebagai anggota keluarga Kesultanan, privilege yang saya terima juga sama. Baju yang saya kenakan bagus-bagus melulu dengan manik-manik mengkilap dan makanan lezat yang membikin lapar selalu tersedia.


Demikian banyak kesenangan yang saya terima, tetapi demikian pula banyaknya larangan dan pantangan yang diberlakukan. Salah satu larangan yang paling tidak saya setujui dan sekaligus yang paling sering saya langgar adalah bermain-main di luar lingkungan istana. Bukan saja Engku (panggilan kepada ayah), semua famili sampai ke Atok Sultan pastilah akan murka jika saya bermain-main di pasar.


Tetapi apa boleh buat, bukan salah Bunda mengandung, bergaul dengan rakyat sudah merupakan suratan di tangan saya sendiri. Saya tidak pernah tahu, entah mengapa saat-saat berbaur dengan masyarakat awam membuat hati saya senang dan berbunga-bunga. Saya suka bermain guli dan bola kaki dengan para pemuda-pemuda kampung yang bergerombol di pasar. Meski bau dan berpakaian compang-camping, saya tak pernah keberatan bercengkerama dengan mereka. Bukankah jika sudah bergelut merebut bola, semua kami akan jorok, bau dan dekil? Ah, saya tak perduli benar dengan hal itu.


Namun jika pulang ke rumah, seluruh kujur tubuh saya pasti akan diperiksa oleh Ende (panggilan untuk Ibu). Dia selalu menyeret saya ke pancuran untuk diguyur lagi, meski rambut saya masih basah karena baru selesai berenang di sungai.


Sembari memandikan, Ende merepet panjang-pendek. Dan saya harus senang mendengar repetannya, ketimbang menerima libasan tali pinggang Engku yang dicemetikan Ende.


Meski tahan menerima hukuman, namun saya sering menerawangkan tanya, tak habis pikir, gerangan dosa besar apa yang saya lakukan jika bermain-main dengan kanak-kanak kebanyakan itu? Apakah berada di pasar merupakan kejahatan? Bukankah Atok Sultan juga sering ke pasar, berbincang dan terkekeh-kekeh dengan para pedagang di sana? Mengapa dia boleh? Mengapa Engku juga diijinkan? Mengapa kami para cucu tidak diperbolehkan?


Bahkan menurut penglihatan saya, Sultan disayangi oleh rakyatnya karena sering berbincang dan datang ke pasar. Dia dinilai sebagai Sultan bijaksana, berjiwa kerakyatan dan tidak bertahta di menara gading. Setiap sapanya ibarat angin Bahorok yang bertiup pelan, menyejuk dan menenteramkan jiwa. Karena itulah sangat pantas dipertanyakan, mengapa saya tidak boleh baur dengan teman-teman di kampung sekitar?


Penasaran. Saya musti mencari tahu. Satu-satunya cara adalah bertanya kepada Ende.


“Din, tak baik berburuk sangka. Kalau kau dilarang, pastilah ada alasannya,” jawab Ende.

‘Tetapi patik (saya) suka, Nde,” kata saya.

“Ya. Ende tahu. Tapi nanti-nantilah itu, kalau kau sudah besar.”


Ternyata larangan yang diberlakukan kepada saya itu lebih cenderung bersifat kekuatiran. Mereka tak mau saya terlampau baur dengan rakyat sehingga meninggalkan tatakrama istana, apalagi segala aturan Kesultanan Serdang yang belum benar-benar merasuk ke alam pikiran saya. Yang lebih meresahkan, di luar sana ada Belanda terus mengintip dan mematai setiap gerakan anggota istana dengan mata liciknya


Larangan terhadap saya memang memiliki banyak pertimbangan. Kekuatiran hanyalah kulit luar saja. Isi sebenarnya adalah kebencian terhadap penjajah Belanda.


Akhirnya saya jadi mengerti sudut pandang yang dianut Kesultanan Serdang. Ini adalah suatu aturan yang tidak dapat disepelekan. Harus ditaati, musti dituruti. Jika pandai meniti buih, selamat badan sampai ke seberang, tempat di mana kemerdekaan manusia berada.


Meski tidak tahu kapan, namun daratan seberang sudah mulai terlihat. Seperti engku dan atok juga, saya coba menatapnya jelas-jelas dengan rasa harap dalam dada. Bilakah masa itu akan datang?


(Bersambung ke Bagian 3. Melorot ke Nomor Pencorot)



Biografi Prof. DR. Hadibroto

2. Mata Berkaca, Hati Tersedu

Enam bersaudara sebenarnya sudah cukup besar, tetapi kelahiran adik baru selalu kami sambut dengan sukacita. Begitulah riangnya hati tatkala ibu hamil lagi.


Cuma kali ini ibu kelihatan letih. Wajahnya sering pucat dan tubuhnya semakin kurus. Mengandung setiap dua tahun pastilah membuat badan rontok. Kesehatan jadi kurang tera­wat dan kepala sering pening-pening. Saya masih ingat jalan ibu yang tertatih-tatih dengan kandungan semakin membesar. Alangkah berat langkahnya.


Saat itu ibu sedang mengandung anak yang ke tujuh. Kami senang karena nanti pasti ada adik baru yang mirip boneka. Tetapi takdir berkata lain. Pada saat melahirkan, terjadi pendarahan yang mengakibatkan ibu tak bisa ditolong. Dia berpulang sewaktu melahirkan dan adik bayi yang sempat lahir juga tak dapat diselamatkan.


Saya tersentak. Mata berkaca. Hati tersedu, karena ibu adalah segala-galanya bagi saya. Dialah matahari pagi, pijar yang memberi cahaya. Dia jugalah yang bernama rembulan, penerang bagi hati di kala bingung. Dia menyusukan dan memandikan. Ibu yang membuat saya bisa tulis-baca, mena­namkan Islam di benak saya. Dialah yang membuat mata saya melek untuk mengerti mana yang baik, mana yang buruk


Kini dia pergi. Cepat sekali rasanya. Ibu, mengapa pergi secepat itu?


Saat ibu meninggalkan kami di tahun 1928, saya duduk di kelas empat. Saya masih membutuhkan ibu untuk memecahkan soal-soal hitungan yang jadi huiswerk (pekerjaan rumah). Dan tak lama lagi akan ujian kenaikan kelas. Apa yang akan terjadi? Saya tak tahu.


Tetapi ayah rupanya lebih tahu. Saya dan Mas Suhardjo diboyong ke Bojonegoro untuk dititipkan kepada abang kandungnya, Raden Tumenggung Bawadiman Kartohadiprodjo, suami Bu De Oemi. Di situ ada Mbak Sukanti yang sejak bayi sudah tinggal di rumah itu. Dia sendiri baru menyadari bahwa kami ini adalah adik-adik kandungnya, justru pada saat ibu telah terbujur kaku.


Di sanalah kami bermukim, di bawah asuhan Bu De Oemi, yang persis ibu, sering mengajari agama dan berhitung. Saya kira ini merupakan hasil perembukan keluarga. Maklumlah, ayah yang kerjanya harus ke daerah-daerah, tidak mu­ngkin membawa kami, karena di daerah tidak tersedia sekolah. Sekolah yang bagus cuma ada di Bojonegoro. Apalagi Pak De Menggung adalah Patih di kota itu.


Di Bojonegoro, saya jadi anak yang necis. Namanya juga kemenakan Pak Patih. Saya pun masuk sekolah lagi, menenteng buku dengan gagah memasuki kelas lima. Alangkah menterengnya Soehadji kecil itu, dengan sebak rambut ke sebelah kiri. Licin dan mengkilat, seperti disemir dengan minyak goreng.


Yang lebih membuat keren, angka-angka rapport saya tetap berkibar. Tidak jatuh, padahal saya sudah tak punya ibu lagi. Saya kehilan­gan, tapi saya tak mau tenggelam dalam duka dan lupa. Justru saya ingin membuat ibu bangga. Saya tahu dia akan tersenyum jika saya mengingatnya dalam doa, tekun belajar dan taat menjalankan ajaran agama. Semua itu tak susah diwujudkan, karena layak sepur di atas rel yang berjalan sesuai arahan, saya tinggal mengikuti saja.


Ketika ayah kembali ditugaskan di Pekalongan, sayapun ditarik lagi. Di sana ada sekolah yang baik. Kami dijemput dari rumah Pak De, dan ikut dengannya ke sekolah baru dengan mata pelajaran yang lebih maju dan guru-guru Belanda yang lebih galak. Hal itu sempat membuat saya keder.


Ayah menyimak hal itu, namun dia diam saja. Mungkin dia tahu persis kemampuan anaknya. Dan benar, ternyata hal-hal demikian tidak mengusik nilai rapport saya. Meski murid baru, saya bisa meraih juara tiga. Ponten bagus, tak ada merah. Teman-teman senang, meneer Belanda yang jadi guru saya pun senang.


Apalagi tatkala saya lulus dengan hasil memuaskan di tahun 1932. Tak ada hal yang lebih menyenangkan daripada menerima diploma karena lulus dengan kemampuan­ sendiri.


Namun di balik kesenangan itu ada juga kerepotan. Yaitu menjalani hidup tanpa kehadiran ibu, yang terasa sangat teramat sulit. Risiko yang paling terasa adalah, kami tak bisa mempertahankan keutuhan keluarga.


Ayah harus pindah lagi dari Pekalongan. Sebagai akibatnya, saya dan Mas Hardjo kembali dititipkan ke rumah Pak De yang saat itu sudah naik pangkat menjadi Bupati Pasuruan. Akan halnya kedua adik, Sudjati dan Sutari, sejak ibu meninggal sudah dipelihara oleh adik perempuan ayah. Nasib jugalah yang membuat kami terpaksa tercerai-berai.


Apa boleh buat! Hidup memang harus dijalani, apapun bentuknya. Hal-hal yang menyedihkan sama pantasnya mengisi kehidupan manusia seperti juga hal-hal yang menyenangkan. Lagipula waktu untuk memikirkan nasib hampir tidak ada, karena saya harus masuk seko­lah kembali.


Meski tinggal di Pasuruan, saya dimasukkan ke sekolah Meer Uitge­breid Lager Onderwijs (MULO) di Probolinggo. Mendingan juga jauhnya. Setiap pagi saya harus mengejar kereta api untuk pergi ke sekolah.


Saya selalu ingat suasana pagi begitu. Turun dari tangga rumah dengan separuh berlari, saya dan Mas Hardjo menyeberang jalan menuju perbukitan kecil yang terhampar di depan rumah. Embun masih mengambang di permukaan rumput. Dari balik pepohonan, tampak ruas cahaya menyinari kabut. Bergaris-garis panjangnya, layak mistar-mistar raksasa yang menikam bumi.


Di jalanan kami akan selalu berpapasan dengan para petani yang memanggul pacul dan buntalan, berjalan berombongan menuju hutan di mana sawah dan ladang mereka berada. Otot punggung mereka yang telanjang, mekar bagai bongkahan tanah yang gembur. Kulit yang legam adalah pertanda keuletan mereka sebagai bangsa Indonesia yang rindu kebebasan.


Sungguh sebuah pagi yang merdeka. Sesekali akan terdengar guyonan mereka yang sederhana. Alangkah optimis hidup ini, meski penjajah masih bercokol di tanah milik mereka. Seakan mereka tahu, bahwa semua yang terbentang adalah perjuangan. Mereka berjuang di tanah garapan, saya berjuang di bangku pendi­dikan.


(Bersambung ke Bagian 3 : Anak Titipan yang Ditumpangkan)

Ada Nol di Hati


Bunga-bunga kapas menerbangi hari

merambat menuruni tangga udara
untuk tiarap menutup bentangan rumput.

Inilah saat-saat nol
tatkala etika tak berujud rupa.


Botani Square, Bogor, 13 April 2008