Kamis, Juni 12, 2008

Merawat SBY, Dirawat SBY


Ask not what your country can do for you,
ask what you can do for your country.

- John Fitzgerald Kennedy (1917 - 1963)


Bukan satu-dua kali saya mendengar orang-orang mengeluh. Bagai kerdum yang berlaga-laga, keluhan itu tanpa aturan memasuki liang telinga dan merambat ke pusat syaraf. Apalagi akhir-akhir ini. Keluhan itu semakin bertambah banyak dan sering, tumpah sebagai dampak dari kemelorotan ekonomi yang sangat dirasakan. Kebijakan yang dinilai tidak bijak, adalah hal yang paling nyaring disuarakan. BBM naik. Bubungan harga. Biaya hidup yang semakin hari semakin tinggi. Semua mahal, sulit terjangkau.


Satu-dua demonstrasi terjadi juga di depan istana, sebagai bentuk ekspresi lain dari keluhan. Mereka bergerombol, berteriak lepas ke udara bertuba, untuk kemudian dihalau pergi atau digiring masuk ke mobil bak terbuka. Setelah itu senyap. Mereka akan kembali melenguhkan keluhan lewat obrolan. Bercakap-cakap sesama kelompoknya, menggerutu dan menyuarakan complaint di bawah permukaan.


Kutubnya menjurus ke satu titik: Pemerintah. Dan di tengah kutub itu, sebagai nucleus, terdapat Presiden SBY. Ya, apa boleh buat. Menjadi orang nomor satu dan berada di atas selalu mendapat terpaan angin kencang. Apalagi menjadi Presiden Indonesia. Siapapun mengetahui hal itu. Seandainya Gaius Julius Caesar hari ini tiba-tiba hadir dan memegang tampuk sebagai Presiden Indonesia, maka taruhan iris telinga, negarawan besar ini pasti akan keteter juga. Kita hidup di alam yang gamang, dengan bumi di bawah bergetar dan langit di atas runtuh. Kemana kita akan berpegang?


Mungkin kita tidak bisa berpegang pada apa-apa atau pada siapa-siapa. Jemari kita tak lagi kuat memeluk pilar besar yang mulai retak. Kita lemah dan tak berdaya. Namun harus diingat, kita tak mudah menyerah, apalagi kalah. Karena kita bukan manusia rombeng. Kita masih percaya pada junjungan kita, Kemahaan Agung, yang mudah-mudahan masih memberi kita keyakinan. Keyakinan itulah kemudian yang membuat kita masih menggeliat, terus berupaya. Dan percaya.

Bersama kita bisa. Jargon masa Pemilu itu masih bisa dipakai saat ini. Sebab jika kebersamaan pun sudah menipis, maka asa akan menguap, hingga akhirnya kita tak punya apa-apa lagi. Selangkah demi selangkah kita berjalan, meski lambat dan tersendat, namun penuh keseriusan.

Pemerintahan SBY ini terlihat sangat serius. Dalam mengikuti perjalanan Presiden ke Malaysia dan Thailand Desember lalu, kesan itu mencuat kuat. No time to waste. Seminggu yang padat, tujuh hari yang penuh jadwal, dan siang malam yang penuh perkutatan masalah. Serta tindak nyata. Perbincangan ASEAN, pertemuan East Asian Summit dan perundingan bilateral selalu berujung kepada tindak nyata, tidak lagi sekedar wacana. Beberapa perjanjian dagang digolkan, serta beberapa kesepakatan diberi anggukan. Amin.


SBY rupanya mahir memainkan peran. Gambaran layar kaca yang selama ini masuk ke rumah-rumah, tampaknya belum meng-capture kepiawaian sang Thinking General. Di forum internasional, beliau tampil mengkilat. Ketangkasannya berdialog dalam bahasa Inggeris membuat dia cukup menonjol. Kewibawaannya membuat suasana ruangan rapat jadi terjaga. Dan gesture, bahasa tubuhnya yang selama ini terlihat agak kaku, tiba-tiba mengalir luwes dengan keakraban, tak ubahnya bagai penari kawakan yang menakjubkan. Di hadapan komunitas Indonesia di Kuala Lumpur dan Bangkok, SBY berkomunikasi dengan cara yang sangat human. No more promises, semuanya tindak nyata dengan cara-cara one minute management. Satu masalah trafficking diselesaikan dalam hitungan jam setelah Lastri yang menjadi korban, curhat kepada Ibu Negara. Malam itu juga, Kapolres Asahan AKBP Mahfud Effendi melaporkan kepada Presiden di tengah masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur: kedua pelaku trafficking sudah ditangkap.


Suasana pertemuan dengan komunitas Indonesia itupun sangat cair. Semua orang bisa bertanya apa saja, tanpa harus di-screening lebih dulu. Ceplas-ceplos, dengan sedikit kekurangan dan kelebihan di sana-sini. Namun dari sudut komunikasi, tujuannya sampai. Information in, information out. Lugas, jelas dan tuntas. Masalah pungli di tubuh imigrasi langsung disikapi, dan tepukan riuh rendah langsung bergema.


Masihkah kita harus menggerutu? Jawabannya bisa ganda. Ya dan tidak. Ya, jika kita masih menuntut agar semua urusan harus selesai over night. Kita lupa bahwa kita tidak punya lampu Aladdin untuk digosok, dan tidak ingat bahwa Roma tidak dibangun dalam satu hari. Tidak, jika mengerti bahwa kita harus menapaki anak tangga pertama sebelum sampai ke anak tangga ke seratus. One step at the time. Tidak, jika kita yakin bahwa arah dan lajurnya sudah benar. We’re on the right track. Kita harus merawat Indonesia bersama-sama. Kita harus merawat SBY juga. Bukan malah mengharap SBY yang merawat kita. Ini perlu dituliskan, karena akhir-akhir ini terdengar juga gerutu yang menyayangkan.


“SBY kurang merawat teman,” kata mereka-mereka yang dulu pernah dekat, mengusung dan menggadang-gadangkan SBY. Ketika diwawancarai Peter Gontha di acara Impact QTV, Eggi Sudjana terkesan mengeluhkan hal itu. Sys NS bahkan mengundurkan diri dari Partai Demokrat. “Saya tidak merasa dibutuhkan di sana,” katanya jenuh. Teman lain bilang, SBY kini punya banyak teman-teman baru.


Change your friends. Begitu kata Presiden Perancis Charles de Gaulle tentang teman-temannya. Ada apa dengan teman baru? Tidak semua teman baru mencelakakan, dan tidak seluruh teman lama memberi manfaat. Tapi memang, kehati-hatian sangat dibutuhkan, agar penyaringan terhadap inner-circle berjalan akurat. Lagipula, teman memang datang dan pergi. If a man does not make new acquaintance as he advances through life, he will soon find himself left alone. A man, Sir, should keep his friendship in constant repair, ujar Samuel Johnson, penulis kamus ternama dari Inggeris.


Ini memang sulit. Sebagai nucleus, presiden memang magnit yang membuat orang ingin tersedot masuk ke medan lingkarannya. Everybody loves a winner. Tetapi itupun bukan karena semata-mata SBY seorang pemenang, tetapi lebih disebabkan penilaian yang tertanam di benak orang bahwa SBY is the ruler, yang membuat orang-orang merasa mutlak harus mendekati SBY, for good reasons or for bad reasons. Apapun.


Tapi menunggu dirawat oleh SBY rasanya kurang etis. Terkesan manja. Saya lebih cenderung memberi jempol kepada orang-orang yang berniat merawat SBY. Sebagai presiden pilihan rakyat, SBY harus dijaga dan dipagari. Jangan biarkan terkontaminasi. Jangan biarkan jalan sendiri. Jangan diamkan hingga bisa terperosok dalam blunder, baik yang tidak diciptakan, maupun yang -sengaja atau tidak sengaja- diciptakan. Beri masukan yang akurat, apapun akibatnya bagi sang penyampai.


Ketulusan dan keterbukaan hati presiden pilihan rakyat ini selalu membuka peluang bagi orang lain. Dia sedang berbuat dan harus sangat hati-hati. Pendapat penyair Jerman Bertolt Brecht tentang teman-teman pantas dicamkan. I don't trust him. We're friends, katanya. Ketidakpercayaan justru timbul karena keakraban. Karena itu sebaiknya mari kita merawat SBY. Jangan minta dirawat olehnya. Merawat presiden pilihan rakyat, dalam arti yang luas sama dengan merawat masyarakat Indonesia, dan identik dengan merawat Indonesia.


Dimuat di Majalah B-Watch, edisi Januari 2006

Tidak ada komentar: