Kamis, Juni 12, 2008

Matinya Rasa Iba

“Mercy has a human heart, Pity a human face,
Love the human form divine, and Peace the human dress.”

William Blake
(1757 - 1827)


Pak Tutang, pemangkas rambutku, sangat piawai mencukur janggut, sehingga daguku bisa licin bak permukaan lilin. Aku membutuhkan dirinya, karena jika mencukur sendiri, janggutku sudah tumbuh lagi esok hari. Tapi dengan pisau siletnya, klimisku bisa bertahan dua setengah hari. Luar biasa. Aku menjadi pelanggan Pak Tutang lewat pencarian yang panjang. Sejak Bang Dahlan mati karena jantungnya mandeg, belum pernah aku menemu pemangkas yang memuaskan.

Kehilangankah aku? Rasanya tidak, terutama jika tidak berhubungan dengan janggut.
Tetapi setiap kali akan tampil di televisi, aku mendadak sontak merasa kehilangan Bang Dahlan. Rindu pada sapuan buncah sabun, handuk kecil kaku dikanji, lincah pisau yang mengerat ranggasan bulu-bulu di permukaan wajah, suara gunting kecil memotong bulu hidung, after-shave dan olesan menthol sebelum jemarinya memijat di alis mata, kening, leher dan bahu. Syoor kali, ah!

Sekarang Bang Dahlan benar-benar sudah mati. Aku kehilangan, tapi cuma sekejap, sudah itu biasa lagi. Mati ya mati! Life goes on. Bukan karena aku sudah menemu Pak Tutang, tetapi karena -Haa!- ternyata aku sudah kehilangan rasa iba.


Perasaan untuk menyayangkan rupanya sudah lenyap dari nuraniku. Beberapa teman meninggal dunia, tetapi aku menanggapinya dingin. Mati ya mati! Life goes on. Parahnya lagi, akhir-akhir ini, aku juga tak pernah lagi merasa kasihan kepada orang lain. Pengemis yang menengadahkan telapak tangan di dekat jendela mobilku, sering kutolak dengan kibasan jari. Selintas ada cemooh yang terbersit di bawah sadar: “Enak aja minta-minta. Kerja dong!” Meskipun tidak pernah merasa jijik, namun tanpa sadar, tombol kunci pintu lantas kutekan. Seakan-akan dengan berbuat begitu, jarakku dengan mereka sudah menjadi berkilometer jauhnya.


Aku juga menemu perasaan was-was menjalar di sanubariku. Khawatir pengemis dan para gelandang itu menggedor pintu dan memecahkan kaca meminta paksa handphone-ku. Mendadak sontak, aku berubah dari manusia normal menjadi makhluk aneh. Kini aku cuma punya kecurigaan, kebencian dan ketakutan. Orang-orang pasti akan menilaiku angkuh. Aku juga merasa begitu. Terutama ketika terhenti di lampu trafik depan stasiun bis Baranangsiang Bogor, saat mematai seorang ibu yang sedang melahap nasi dan sayur bersama anaknya, hasil mengemis sepanjang hari.


Kesombonganku tersindir hebat. Mataku basah. Dan kalimat lain mencuat: Alangkah binatangnya diriku, mengapa selama ini bergeming untuk hal seperti itu? Kemana rasa kemanusiaan yang rapi terpelihara sejak kecil? Akhirnya, orang-orang seperti merekalah yang membuatku terbentur, sekaligus memberi arti pada hidup ini. Bang Dahlan dan Pak Tutang tak boleh dilupakan. Teman-teman yang berpulang musti diantar dengan layak. Ibu pengemis dan anaknya harus diperhatikan. Tangan harus dijulurkan ke orang-orang yang bertambah miskin sejak BBM dinaikkan.


Pelan dan perlahan, terasakah bahwa kita saat ini sedang bertransformasi menjadi satwa? Dan kita harus menolak. Artinya, kita harus tetap menyimpan rasa iba, agar tetap jadi manusia.

(Dimuat di Majalah Marine Business, Kolom JUST THINK, Edisi Juni 2008)

Tidak ada komentar: