Jumat, Agustus 05, 2011

In Our Little Switzerland

Kau duduk di depanku. Lurus dan persis. Jendela lebar menampung puncak-puncak pohon pinus dan melemparkannya utuh ke atas meja. Di atas taplak berbunga, helai dan serat daunnya bercampur dengan air mineralku dan juice alpukatmu, dengan steak sapimu dan pofertjes-ku.

Kupandangi matamu penuh. Senja sudah turun sejak tadi. Lelampu rumah-rumah penduduk di pelataran datar mulai nyalang. Angin terdiam, malas merambat. Duduk di sofa berbentuk huruf U, kuhirup bau malam saat matamu mengecil setiap tertawa. Lucu dan cantik, membuat kumerasa, di umur hidup kita, aku ingin menyayangimu.

Hanya saja, aku tak akan menyentuhmu. Kularang jari-jariku. Di temaram langit yang berkabut, aku cuma ingin paparkan rasa. Pekan-pekan belakangan ini, kita terlalu hanyut dalam amuk. Perjumpaan kita tidak lagi hanya peristiwa kasih, tetapi terus menggelora. Kita larut terbawa jauh di pusaran jingga, terengah-engah dengan deru napas memburu. Kau mendekapku dalam, aku menyusup masuk ke liang tubuhmu. Aku menikmatimu, kau menikmatiku, dalam rengkuh indah alami universal anak manusia.

Tapi malam ini, di sini, aku mau duduk seperti ini. Menikmati keindahan dalam mematai caramu bersikap. Senyum yang melebarkan bibir. Tawa yang membuat hidungmu berkernyit. Duduk tanpa berbuat apa-apa. Cuma kalimat yang perlu dilontarkan. Karena kita harus lebih banyak bicara. Tentang apa saja. Tentang langit kelabu dan bulan tunggal di atas sana, mengenai ranting-ranting dan burung pulang malam, atau malam teduh dan dingin yang meraba-raba leher.

Airmataku tetes. Feeling guilty. Tak layak aku membawamu ke sana, saat cinta dikalahkan passion dan gerumas membunuh usapan. Kita harus kembali cepat-cepat, sebelum kita tersesat dalam kabut. Kau tersedak, menahan isak yang akan meledak. Hujan tersendat, membekukan jemari dan lidah. Angin menampar.

Malam di atas bukit. Sinar bulan yang panjang ke ujung utara. Kau duduk di hadapanku, mulai ikut menitikkan airmata. Merasa lemah, kehilangan daya. Kau mencinta, tapi tak bisa berbuat apa-apa. You like to break the chain I put around you, but you know you never will. Tapi aku tak lantas memelukmu. Ditengahi oleh sekuntum ros merah nyalang, kita terus bertatap dengan mata kucing sakit.


Crystal, kita sedang mencari jalan ke arah hubungan yang sehat. Memberi dan menerima dalam arti yang sakral. Tetapi sulit sekali. Karena akhirnya, ketika berdiri di ketinggian dalam melempar pandang ke ambal muram berlampu di bawah sana, yaitu saat kulingkarkan kedua tangan memeluk tubuhmu dari belakang, kau tetap memaling wajah untuk mengecup bibirku.

Dan embun pun turun. Cinta ternyata tak bisa berdiri sendiri. Selalu ada passion di dalamnya. Riuh menggelora, nikmat menakutkan.

Cuplikan dari rancangan novel Crystal, 11 Juni 2004

 

REMINISCENCE OF THE DAYS: Bulek dan Segelas Air Es

Iseng-iseng, kusinggahi lagi Prambors Rasisonia. Tatkala urusanku di Ratu Plaza beres dan jalanan di luar sana macet berat, aku ringankan langkah menumpang elevator, naik ke lantai tempat stasiun radio itu bercokol bersama radio Delta FM & Female FM.

26 tahun sudah sejak radio-radio itu kutinggalkan. Siaranku terakhir di Prambors adalah pada Januari 1983, sementara siaran terakhirku di Delta FM adalah November 1999. Sebuah rentang panjang waktu yang membuat jarak lebar. Apakah semua sudah terbelah?

Suasana stasiun radio-radio itu kini sudah formal, seperti kantor bank saja layaknya. Ketika pintu lift terbuka, sambutan sorot mata dingin petugas security menyambar dan mendakwa: “Ada kepentingan apa di sini?” Terasa kaku dan defensif.


Jika ada sebuah jarum kecil terjatuh, bisa-bisa suara benturannya dengan lantai akan terdengar jelas. Suasana hening, seperti berada di tengah pekuburan. Semua tertata dengan arogansi yang lembut, tidak punya kehangatan. Kerenyahan atmosfer radio kini terasa hilang. Tidak ada keluwesan, sehingga tidak terasa ada keakraban. Semua bergegas dengan pekerjaan, setiap orang seperti clock-work toy yang beredar dari ruangan ke ruangan dengan kunci putar tertancap di balik punggung.

Tidak ada canda anak-anak mangkal lagi di ruangan-ruangan itu. Padahal taglines Prambors zaman dulu adalah Tempat Anak Muda Mangkal. Semangat itu sudah tidak terpantul lagi. Sekarang semuanya formil, bincang-bincang dengan teman-teman lama juga terkesan berjarak. Ada celah yg membedakan, ada ruang hidup yang berlainan. Semua tercipta dalam satu sistem hubungan kerja yang kurang bersahabat, karena semua bermuara kepada uang. Pada gaji. Pada kinerja. Pada target untuk mencetak profesionalisme. Dan itu terasa hambar.

Ya, pergeseran sudah terjadi. 2009 bukan 1999, apalagi 1983. Time change, people change. Dan itu akan terus begitu. Waktu telah menjauhkan pribadi-pribadi, mencetak tatakrama baru dan meletakkannya menimpa nilai-nilai persahabatan. Kukira, kita tidak akan pernah menemukan masa-masa itu lagi. Hubungan antar manusia yang dulu terbentuk atas dasar kekerabatan batin, kini terbina atas dasar kepentingan dan keuntungan. That’s life.

Namun, untunglah ada Bulek. Office-boy yang dulu setiap hari menyediakan minuman, dengan senyum lebar menyodorkan secangkir kopi buat Bowo, dan segelas air es buatku. Dengan gaya seperti The Incredible Hulk, (itu sebutanku dulu buatnya) dia juga menyalam tanganku.

“Pak Izharry, kan?” tanyanya.
“Wah, awet kau, ya Lek! Sudah berapa anak sekarang? Sudah kawin kan?” tanyaku kembali.

Pertanyaan-pertanyaan itu sama sekali tak perlu berjawab, karena kami berbincang dengan hati. Dan kami tetap saling menyimpulkan senyum hangat di bibir. Iseng-iseng kutanya lagi dia.

“Kok Bowo dikasi kopi, aku cuma dikasi air es?”
“Kan dari dulu Pak Iz sukanya air es.” jawabnya.

Kepalaku terbentur, kesadaranku tersentak dan ketulusanku mencair. 26 tahun sudah berlalu, tetapi Bulek masih mengingat kegemaranku: Segelas Air Es!

Bulek ternyata lebih bersahabat. Aku dan dia berdialog pada frekuensi yang sama, tidak saling menggurui, tidak saling mengukur. Kami tidak bicara tentang kepentingan dan keuntungan, tetapi kami bicara tentang pengertian dan ketulusan. Sesuatu yang jarang ada. Terlebih ketika kami melakukannya dengan nurani.

Selasa, 29 September 2009
by IzHarry Agusjaya Moenzir

Buku 'Bukan Testimoni Susno', Best Seller di Gramedia

Jumat, 26/03/2010 18:13 WIB
Oleh: Djoko Tjiptono - detikNews

Jakarta - Nama Susno Duadji semakin moncer setelah berani mengungkapkan berbagai fakta kontroversial di internal Polri. Tidak hanya nama, buku tentang mantan Kabareskrim Mabes Polri itu yang bertajuk 'Bukan Testimoni Susno' yang ditulis oleh Izharry Agusjaya Moenzir pun laris manis.  

Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif PT Gramedia Pustaka Utama, Wandi S Brata, dalam perbincangan dengan detikcom melalui telepon, Jumat (27/3/2010). "Hingga saat ini sudah terjual sebanyak 23 ribu eksemplar. Bagi kami (Gramedia), sebuah buku yang terjual 10.000 eksemplar dalam 3 bulan sudah masuk dalam katagori best seller. Sedang buku ini (Bukan Testimoni Susno), dalam 1 bulan sudah mencapai angka penjualan 23.000 buah," ungkap Wandi.

Wandi menambahkan, pihaknya juga sudah menerbitkan buku 'Bukan Testimoni Susno' cetakan kedua. Dalam cetakan kedua ini, buku tersebut mengalami berbagai perbaikan dari sisi desain maupun lay out. "Tapi isi atau materi, semuanya sama. Untuk cetakan kedua ini kita cetak 10 ribu eksemplar," tutur Wandi. 

Tak terkait isu Markus 

 Wandi juga menjelaskan, sejak awal dicetak buku yang ditulis oleh Izharry Agusjaya Moenzir itu memang sudah laris. Jadi, sambung dia, tingginya angka penjualan buku 'Bukan Testimoni Susno' ini tak terkait langsung dengan isu markus di Mabes Polri. "Sejak isu markus mengemuka, angka penjualan buku ini biasa saja. Artinya tidak naik secara signifikan. Jadi ramainya isu markus yang diungkap Pak Susno tidak terkait langsung dengan penjualan buku ini," terang Wandi. 

Wandi melihat, ketertarikan orang terhadap buku 'Bukan Testimoni Susno' ini lebih disebabkan hal lain. Buku tersebut menampilkan gambaran lain sosok Susno setelah sebelumnya dia dihujat dalam kasus kriminalisasi pimpinan KPK. "Jadi kami tertarik menerbitkan buku ini bukan karena sensasinya. Tapi karena Susno ini dalam arti tertentu kemarin kan menjadi kambing hitam. Ketika saya membaca naskahnya, ternyata orang ini tidak sejelek yang dipersepsikan selama ini. Dan saya pikir, ini penting diketahui masyarakat," ungkap Wandi. (djo/nrl)

Bab 15. Mendekapnya Rapat, Memeluknya Hangat

Bab 15 ini adalah cuplikan dari 
Biografi Gesang 'Mengalir Meluap Sampai Jauh', 
tulisan IzHarry Agusjaya Moenzir, 
terbit tahun 1998, cetak ulang 2010 
oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama
========================================
 
Perempuan itu memang memukau jiwa. Mataku tak berkedip melihatnya. Dagunya yang runcing menancap tajam di jantung. Aku terpesona, merasa heran, kok ada mahkluk secantik dia? Selintas aku berpendapat bahwa dia bukan manusia. Mungkin peri dari salah satu bintang-bintang yang bertabur di langit. Turun ke bumi, malam ini dia ikut bernyanyi dan menari di panggung hiburan Surakarta.

Gemulainya adalah dedaun nyiur yang tertiup angin. Lentik jarinya ibarat bulan sabit. Dia berputar-putar dengan langkah ringan, seakan kedua kakinya tidak menjejak tanah. Musiknya dari swargaloka, nyanyian para dewata. Jika matanya mengerling, seberkas sinar lembut berkejaran di udara terbuka, menusuk masuk ke kornea mataku. Aku terpanah.

Asmara memang cepat datangnya. Apalagi bagiku yang sangat menyukai keindahan. Di kemudaan usia ini, aku terpaku dan tak bisa berkelit lagi. Dia memang pujaan semua orang, tetapi bagiku dialah bidadari. Perasaan itu muncul ketika jemari halusnya kujabat di belakang panggung. Kulitnya lembut seperti kapas, seakan telapak itu tak pernah bersentuhan dengan sesuatu apapun.

Aku keringat dingin. Seandainya....

“Kepanasan ya?” tanyanya manis.

Leherku kering. Tak bisa berkata-kata untuk menjawabnya. Suara batinku tersangkut di tenggorokan.

“Nih, pakai saputangan saya saja," katanya sembari menyodorkan saputangan.

Suaranya yang manja membuat tanganku bergerak di luar kendali, menggapai ke arahnya untuk meraih selampe sutera berwarna ungu dengan hiasan garis-garis merah itu. Mataku tak berkejap. Gemuruh dadaku terdengar jelas dan jantung berdentam-dentam dengan garang. Alangkah kakunya suasana.

Dia tertawa. Dan aku menunduk. Sungguh memalukan sekali sikapku, menganga seperti anak kecil melihat permainan sulap. Kugenggam saputangan pemberiannya dalam telapakku. Saputangan yang harum baunya, menawan hatiku.

Aku kasmaran. Dalam hati putihku, kini tergambar sketsa raut wajahnya. Entah siapa pelukisnya, namun guratan garis itu begitu jelas dan terang. Arsirannya terbentuk bagus dengan sisi hitam, kelabu dan putih yang berkomposisi, sehingga alis, mata, hidung, bibir dan pipinya semakin nyata.

Ternyata aku tidak terlalu bertepuk sebelah tangan. Seusai bernyanyi, kusamperin dirinya.

“Terimakasih saputangannya. Nanti setelah dicuci akan saya kembalikan.”

Aku berbohong. Saputangan berinitial S miliknya itu tidak kupakai untuk melap keringat, karena aku tidak mau merusak keharumannya. Cuma, untuk mengatakan bahwa aku tidak memakainya, pasti hanya akan menunjukkan kekonyolan saja.

“Sudah. Simpan saja. Anggap kenang-kenangan," ujarnya dengan senyum menggoda.

Oh Gusti! Sanggupkah aku menerima kemanisan ini? Aku menggigil di bawah baju yang kukenakan. Haruskah saputangan itu kuterima? Aku merasa berada dalam kamar berdinding sempit, tak tahu apa yang harus dilakukan. Ingin aku memiliki saputangan miliknya sebagai tanda cinta, tetapi aku takut seandainya hal itu membawa petaka. Ila-ila, kepercayaan sejak jaman kuno melarang aku menerimanya, karena hal itu akan mengakibatkan putusnya hubungan. Seperti minyak wangi, saputangan juga merupakan benda yang tidak boleh diberikan kepada orang lain, sebab bisa mempengaruhi hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana jika hubunganku dengannya terhenti?

Keraguan terus mengerubungiku, layak semut kecil yang merubung kujur hati. Mudah-mudahan dia tidak merasakannya di tengah obrolan yang semakin lama.

“Capek?” tanyaku.
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Ya capek. Ya gemetar. Takut kalau suara saya nggak sampai tadi.”
“Tapi bagus kok. Lagunya enak. Ciptaan sendiri, ya?”

Aku mengangguk. Berjuta kuntum bunga mekar di padang sanubariku.

“Tapi kok rasanya, bisa lebih bagus kalau kamu yang menyanyikan,” kataku.

Aku tidak berbohong. Dia bukan hanya dikenal sebagai penari tersohor, tetapi juga memiliki suara emas yang jarang bisa tertandingi.

“Aku akan ciptakan lagu buat kamu,” kataku tiba-tiba.
“Memangnya, sudah berapa banyak lagu yang kamu ciptakan?”
“Baru empat. Nanti yang ke lima buat kamu. Bolehkan?”

Dia melepas senyum cerah. Sumringah. Dan aku mencium wewangi melati, seakan berasal dari hamparan bunga terbentang. Padahal itulah harum tubuh dan saputangannya. Semakin lama semakin memabukkan, seperti juga kata demi kata, kalimat demi kalimat yang kami ucapkan, diselingi dengan senyum, tawa dan manja.

Cinta pertama adalah cinta yang berasal dari kayangan. Aku membalut tubuhnya dengan seluruh perasaaanku, layak Hyang Rawi mendekap Kunthi di Taman Keputerian. Sorot sayu mataku layak sinar mentari yang membelai pundak telanjangnya, mendekapnya rapat, memeluknya hangat. Saputangan yang dulu kuterima dari kekasihku. Pada masa dahulu berjuang, pertama bertemu.


GESANG - MENGALIR MELUAP SAMPAI JAUH

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Prolog: ‘Mati’ ketika Hidup dan ‘Hidup’ Setelah Mati

Sudah 12 tahun biografi Gesang ini saya tulis. Masih teringat di bulan-bulan akhir 1998 yang berlanjut ke bulan-bulan awal 1999, saat saya berada di Surakarta, mundar-mandir dari penginapan ke rumah Gesang di Palur. Suasana republik saat itu sangat tidak kondusif. Ibu Pertiwi lagi demam panas dan rakyat sedang marah. Gelombang ketidakpercayaan terhadap Pemerintah membuncah. Demonstrasi di mana-mana.

Namun saya dan Pak Gesang nyaris tidak tersentuh. We stay in our ignorance. Di rumah tipe 36 miliknya yang selalu dikumandangi kicauan burung, kami tenggelam dalam obrolan hening, membuka hati dan merajut kata. Atas pertanyaan saya, Pak Gesang bertutur tentang keberadaannya sejak lahir, kanak, remaja, dewasa dan menjadi tua. Jalinan kisah hidupnya nyaris tanpa karpet merah. Bukan kisah manis. Sedikit sekali madu dan bunga mawar di sana. Dan saya menyimaknya untuk dijadikan naskah panjang.

Usia Gesang saat itu masih 80. Saya ingin menerbitkan biografinya untuk peringatan usia windu dasawarsa Gesang, sebelum kisah hidup itu hilang dan terlambat. Saat itu kesehatan Gesang sudah sering terganggu. Tubuh rentanya ringkih, tidak tahan terhadap ancaman penyakit. Keadaan ekonominya mencemaskan. Kitapun sudah melupakannya. Saya khawatir Gesang tidak akan bertahan lama. Maut bisa menjemputnya sewaktu-waktu. Dan jika saat itu tiba, kita bisa-bisa tidak punya pengetahuan apa-apa tentang maestro keroncong itu.

Maka sebuah biografi mutlak sangat dibutuhkan. Meski diluncurkan di Pendopo Kantor Walikota Surakarta pada 17 Februari 1999 dengan kehadiran orang-orang besar, kisah tentang Gesang nyaris lahir tanpa tanggapan nasional. Hanya beberapa media cetak lokal dan TVRI saja yang memberitakan.

Saat itu memang Gesang sudah tidak lagi menarik hati Indonesia. Dia bukan sosok yang sexy untuk diberitakan. Dia cuma seorang pria tua dari masa lampau yang mewakili musik-musik zadul (zaman dulu). Old timer yang tidak punya daya tarik dan daya jual. Dia telah terlupakan dan disia-siakan. Sekelebat saya beranggapan, Gesang sebenarnya sudah dianggap mati sebelum napasnya berhenti.

Apalagi kita menyadari, musik keroncong memang tidak lagi dikonsumsi masyarakat, terutama masyarakat kota yang hanyut oleh kedahsyatan musik-musik pop Indonesia dan musik-musik MTVmancanegara. Gesang left alone and become nobody. Era musiknya juga sudah tidak trend lagi, memudar seperti musik Melayu, lagu-lagu Batak dan Minang serta lagu-lagu asli Indonesia lain yang pernah terkenal.

Singkat kata, Gesang adalah sebuah masa lalu, sisa-sisa seniman tua yang ditinggalkan oleh kekinian. Dia telah kita anggap tiada, kita nilai sudah ‘mati’. Hari-harinya tidak pernah kita catat dan tidak pernah dapat tempat. Sebelas tahun saya dan beberapa kawan mencoba menghidupkan eksistensinya, namun selalu tidak berhasil.

Tapi ketika beberapa bulan lalu Gesang gering dan dirawat di rumah sakit, mendadak saja media gencar memberitakan dirinya. Saya tertanya, seandainya dia tidak di ambang maut, apakah berita tentangnya masih dinilai memiliki news value? Atau ini cuma kelatahan?

Gesang kemudian melepaskan jiwanya pada jam 18:10 WIB tanggal 20 Mei 2010, saat kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Koinsiden itu seakan memberi sinyal agar kita jangan melakukan upaya membangkitkan nasionalisme sebagai proforma semata-mata.

Gesang sudah mati. Tapi sekarang kita mencoba ‘menghidupkan’ dengan segala upaya. Gelar Pahlawan Nasional diwacanakan. Padahal dulu ketika dia masih hidup, kita sudah bertahun-tahun ‘mematikannya’. Memang seorang genius sering tidak diakui ketika dia masih hidup, tapi baru diakui setelah dia tiada. Seperti lidah di dalam rongga mulut, kita tidak pernah merasakan keberadaannya. Tetapi ketika lidah itu tiada, kita akan bersedih karena tak lagi bisa berkata-kata.

It’s so pathetic. Miris dan menerbitkan iba. Mudah-mudahan kita memang benar-benar merasa kehilangan Gesang, bukan cuma sesaat ini saja. Sehingga kita yakin benar bahwa sebuah biografi memang mutlak sangat dibutuhkan.

Belantara Hujan, 28 Mei 2010

Kompas.com : Peluncuran Buku Gesang, Anugerah yang Dilupakan


KOMPAS.com- Kehidupan maestro musik keroncong Gesang ternyata tak seindah lagu-lagu ciptaannya. Lagu Bengawan Solo, misalnya, boleh saja mendunia dan dan mengalir melintasi zamannya. Dikenal dan disukai dari dulu sampai sekarang. Namun, kehidupan Gesang ternyata penuh duka dan sempat menguncang jiwanya.

"Sejak lahir hingga usia tua, saya merasakan hidup penuh duka. Kehidupanku seperti air yang mengalir di sepanjang Bengawan Solo. Asal mengalir dan selalu mengalir. Saya sadar, dari hilir perjalanan bermula dan di hulu perjalanan berakhir." Demikian pengakuan Gesang, 12 tahun lalu.

Dan ketika berpulang, Kamis 20 Mei 2010 pukul 18.10 WIB, Gesang pergi tanpa pesan terakhir. Menurut keponakannya, beliau pergi dalam hening yang dalam.

Kenyataan yang memilukan dan sekaligus mengharukan itu terungkap saat peluncuran buku Gesang Mengalir Meluap Sampai Jauh (penerbit PT Gramedia Pusataka Utama, Jakarta, 2010) yang ditulis IzHarry Agusjaya Moenzir, Jumat (6/8/2010) malam, di Auditorium Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta.

Menurut IzHarry, Gesang adalah sebuah masa lalu, sisa-sisa seniman tua yang ditinggalkan oleh kekinian. Dalam usia rentanya, ia telah kita anggap tiada, kita nilai sudah mati. Hari-harinya tidak pernah kita catat dan tidak pernah dapat tempat.

"Sebelas tahun saya dan beberapa kawan mencoba menghidupkan eksistensinya, namun selalu tidak berhasil. Tapi, ketika beberapa bulan lalu Gesang terbaring sakit di rumah sakit, mendadak saja media gencar memberitakan dirinya. Melalui buku biografi Gesang yang diluncurkan malam ini, kita mencoba menghidupkan dengan segala upaya," ujar IzHarry.

Gesang telah tiada. Radio Republik Indonesia memberi tempat untuk peluncuran buku Gesang tersebut dengan menyiarkan langsung ke penjuru nusantara. Sebagai bentuk kepedulian akan khasanah budaya bangsa, RRI juga menghadirkan Kelompok Keroncong Tugu dan Keroncong Cyber, untuk menyanyikan lagu-lagu kerincong ciptaan Gesang selama 40 menit penampilan on air.

"Radio Republik Indonesia sangat peduli dengan kebudayaan bangsa. Dan, musik keroncong sebagai salah satu kekayaan bangsa kita, harus kita lestarikan. Kita tingkatkan kepedulian kita. Kepedulian RRI kepada keroncong, dan Gesang khususnya, tidak hanya saat ini saja," kata kata Direktur Utama RRI Parni Hadi , dalam pidatonya.

Pada saat Bintang Radio 2008 di Bogor, tambah Parni Hadi, RRI juga menganugerahkan kepada Gesang penghargaan Live Achievement. "Inilah cara RRI menghargai pahlawan di bidang kesenian. Yang diperbuat pahlawan di bidang kesenian ini untuk bangsa, tak kalah dengan pahlawan yang pegang senjata," katanya.

Wartawan lima zaman Rosihan Anwar mengatakan, seumur-umurnya inilah peluncuran buku yang hebat, yang disiarkan langsung ke penjuru nusantara. "RRI sudah memberikan tempat yang luar biasa, dan peluncuran buku ini didengar banyak orang melalui siaran langsung RRI ke penjuru nusantara," katanya.

Menjaga dan mengembangkan
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, meski berhalangan hadir, menitipkan pesan kepada Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Sapta Nirwandar, untuk terus melestarikan musik keroncong.

"Maestro Gesang telah meninggalkan kita dan setelah beliau pergi adalah tugas kita untuk menjaga keroncong sebagai salah satu karya seni musik bangsa Indonesia," tulis Jero Wacik.

Sapta Nirwandar mengungkapkan, kita harus berterima kasih dan bangga karena di Bumi Pertiwi pernah ada seorang seniman Keroncong dan Langgam Jawa yang tegar bergeming menyuarakan kepahlawanan. "Dia bernama kehidupan. Dan Gesang adalah kehidupan. Meski dia telah tiada," katanya.

Menurut Sapta, lagu Bengawan Solo memang sudah masterpiece. Masyarakat Indonesia mengakui, demikian juga dunia. Namun, jangan terpaku pada sebuah lagu semata. Ada sekitar 40 lagu ciptaan Gesang yang menunjukkan betapa kaya sebenarnya batin pria kelahiran Surakarta ini. Lagu-lagunya ditulis pada waktu yang berbeda, yaitu saat kita masih dijajah Belanda dan Jepang, serta di zaman merdeka.

"Simaklah lagu Bilamana Dunia Berdamai (1942), Jembatan Merah (1943), dan Caping Gunung (1973). Semua menjadi suara zaman, saksi sejarah bangsa kita. Kita harus berterima kasih dan bangga dengan Gesang," tandas Sapta. (YURNALDI)

Tuhanku, Tuhan Yang Misterius


Aku tak paham Tuhan. Tak mengerti gerak tanganNya. Tak paham langkah-langkahNya, apa mauNya. Rencana dan putusanNya. Dia begitu misterius.

Memang ada saat-saat aku sangat dekat denganNya. Kami bercakap-cakap, meski bibirkulah yang banyak merepet, mengadu, meminta dan sujud. Tapi aku tau Dia tekun menyimak dengan pendengarannya yang maha. Kukatakan aku merindukanNya untuk menuntun jariku, menudingkan  arah yang musti kutempuh, karena aral dan jalan bercabang kerap hadir di ujung tapakku.

Tapi Dia tetap misterius. Tak menjawab. Namun karena aku tetap bisa bergerak aman, aku yakin Dialah yang menggiringku. Dia banyak memberiku. Tapi Dia juga merampas dariku. Kata teman, Dia bermaksud baik. Dia cuma sedang mencoba.

Mencoba? Perlukah ketulusanku dicoba-coba? Ini menggoyahkan. Menghantam ubunku, menekanku hingga kerdil, murung, sangsi, ragu, bimbang, penuh tanya, marah, merepet, mengadu, meminta dan sujud lagi. Aku sangat ingin bisa ngerti rancang rekayasaNya.

Tapi dia tetap misterius.

Adakah Dia di sini, di batang-batang nalar dan di syaraf-syaraf kesalehanku? Aku bercakap-cakap, merepet, mengadu, meminta dan sujud. Namun kemengertianku dangkal. Tuhanku, tetap Tuhan yang misterius.

November 2009
Ida Lubis Dalam Ingatan
(Pematang Siantar, 15 Maret 1927 – Jakarta, 1 April 2011)
by IzHarry Agusjaya Moenzir, on Saturday, April 9, 2011 at 4:14am

Pada Jumat itu, langit Jakarta berhias mendung. Abu warnanya. Sekitar pukul 06:45 WIB, ibunda tercinta Hj. Zahida Lubis binti Madong Lubis, menutup perjalanan hidup di usia 84 tahun. Mami menghembuskan nafas terakhir di ruang UGD Rumah Sakit MMC Jakarta, tanpa guratan sakit dan nyeri. Dia pergi dengan tenang, layak akan melancong ke alam baka. Wajahnya bersih dan bercahaya.

Mami memang sudah lama sakit, selaras usia yang semakin bertambah. Sebagai pasien geriatrik, keringkihan tubuhnya semakin kentara dari tahun ke tahun. Dia pun masuk-keluar rumah sakit, minum berbagai obat dan berpantang terhadap beberapa jenis makanan.

Tapi Mami selalu memiliki gairah hidup. Sendiri di rumah bersama suster perawat, kegiatan rutin sejak muda masih tidak ditinggalkannya. Mami rajin membenahi rumah, merias diri, memelihara bunga, berjalan pagi mengitari kompleks perumahan, mendengar musik, membaca surat kabar/majalah, menonton berita-berita di televisi dan menggemari pertandingan tennis di ESPN. Warna bicaranya juga tidak pernah melemah. Dalam ketertatih-tatihan, dia masih bersuara dan bersikap tegas. Mami yang banyak mengarungi alun gelombang naik-turun hidup ini tahu betul cara memandang isi dunia. Dia tertawa untuk hal-hal yang menyenangkan hati dan menangis untuk yang membuat jiwanya terluka. That’s her life!

Menurutku, Mami adalah lidah kita semua. Lidah yang ada di rongga mulut kita, yang tak pernah kita rasakan kehadiran dan kegunaannya. Kita baru menyadari makna dan guna lidah itu justru ketika kita tidak lagi memiliki lidah. Ketika Mami masih ada, kita sering lupa dan melupakan sehingga dia nyaris terlupakan. Namun setelah dia tiada, kita baru menyadari betapa penting arti dirinya bagi kita.

Kita lantas terpana menatap Mami ketika dia sudah berbalut kafan putih. Sesiap-siapnya batin kita menerima datangnya kematian, selalu saja kita tidak siap dan tetap terperanjat mendengar kepulangannya. Kita menahan isak di dada yang bergelora. Kita mencium pipi, kening dan ujung kakinya ketika dia disemayamkan di rumah duka Jl. Tanjung Raya, Blok 06 No. 1, Taman Cimanggu, Bogor.

Semua berduka. Begitu juga anggota keluarga kami. Kakak saya Rita Anggreiny Moenzir & Christian Dermawan (Alm.) dengan anak-anaknya Ryan Dermawan, Jackie Dwitiya, Michelle Trinayana; Saya & Ninien Sukmini beserta anak-anak kami Rinintha Pradiza, Bima Andwiza, Bramadya Andriza; Adik saya Izwan Indrajaya Moenzir  & Tellyani Purwitasari bersama anak-anaknya Abdullah Mazanni dan Ahmad Dwiapreiza, pastilah larut dalam duka yang tak mudah lekang.

Maka, dalam mewakili keluarga Janson Moenzir bin Sjamsuddin (Alm.) & Almarhumah Hj. Zahida Lubis binti Madong Lubis, dengan wajah tunduk kami mohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan yang kiranya pernah dilakukan ibunda kami, sengaja atau tidak sengaja, besar atau kecil, seraya berharap kiriman doa tulus untuk mengantar Almarhumah ke sisi Allah.

[89:27] Hai jiwa yang tenang
[89:28] Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
[89:29] Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
[89:30] Masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr)

Ya Allah…., ampunilah dosa Ibunda kami, limpahkan rahmat kepadanya. Hapuskanlah kesalahannya, maafkanlah segala kekhilafannya.

IzHarry Agusjaya Moenzir & Keluarga
Bogor, 8 April 2011

Pengantar untuk Buku Surat Yaasin dan Bimbingan Tahlil - Peringatan Hari ke Tujuh

Sabtu, November 07, 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Incheon, di Suatu Hari


Angin tipis menampar pipi saat keluar dari Korea Airlines KAL 628 di Ienchon International Airport. Kelu. Meski musim dingin datang terlambat tahun ini, tetap saja aku harus meninggikan kerah jas. Mungkin akan ditambah dengan mafela dan sarung tangan jika matahari merosot jatuh ke balik laut. Wanti-wanti yang kuterima mengatakan, di beberapa lokasi Korea Selatan, salju sudah bertabur jatuh. Dibutuhkan persiapan ekstra bagi orang yang dating ke negeri ginseng ini. Begitu juga kiranya, bagiku.

Namun dalam bus besar, terobosan dingin tidak terasa. Jong-Sub Cho, mahasiswa Korea yang mengambil Jurusan Bahasa Indonesia itu terpatah-patah mengisahkan hikayat negerinya kepadaku. Bagus juga kisah sepanjang jalan itu. Aku jadi merasa lebih lega menyusuri jalan tol di lereng gunung Chungryang, untuk menuju kawasan Songdo, tempat Hotel Ramada menjulang.

Di sana, di ruang utama hotel, seorang lagi warga Korea bersusah-payah dalam bahasa Indonesia mengelu-elukan kedatanganku. Kesopanannya bersahaja, tapi terasa terlalu mewah untuk diterima, karena aku tetap saja merasa sendiri di tengah mereka. Perjalanan ini memang tunggal, dirancang untuk satu orang dan sangat mempribadi. Karenanya, tak perlu digubris kerlingan dan cekikikan kedua perempuan muda yang menghirup mie panas di warung kecil di pojok Ramada.

Incheon yang menikamkan dingin membawaku dalam keheningannya. Di kamar memang terasa hangat, tapi aku bisa berdarah-darah dihunjam belati sepi. Tidak ada jadwal yang harus dipatuhi. Cuma dekat magrib, Jong-Sub Cho berjanji akan mengantarku ke Namdemun Sijang, pasar tradisional di kawasan kota Seoul yang berbukit. Selebihnya aku bebas dan liar seperti bola bekel. Mau gelimpangan bisa, mau jungkir balik silakan. Tergantung hasrat, terserah kaki.

Maka, lebih baik aku merentangkan kaki dan punggung di coffee-shop gelap ini, termangu-mangu sembari menghirup seseloki-dua Tia Maria untuk pemanas diri.

Adakah kedamaian itu berdiam di sini?

REMINISCENCE OF THE DAYS : Aku dan Ompung Madong


Langit menghijau menghias malam Bagaikan tidur rupanya alam. Besarnya bulan laksana talam Bintang bersinar umpama nilam Angin bertiup perlahan-lahan Membuai burung di atas dahan. Air mengalir bagai tertahan Sadar hatiku kepada Tuhan Senyap di sini di sana sunyi Satupun tidak ada berbunyi Hanyalah jangkrik mengangkat nyanyi Di dalam rumput ia sembunyi Terimakasih aku ucapkan Kepada Tuhan yang memberikan Di dalam hati aku serukan: “Alangkah indah yang kau jadikan!”

Diambil dari buku Taman Kesuma, terbitan tahun 1923

Lagu TERANG BULAN ini merindingkan bulu romaku ketika dinyanyikan oleh paduan suara murid-murid Sekolah Rakyat (SR) di Gedung Kesenian Medan. Sepanjang ingatanku, acara malam di tahun 1960 itu khusus diselenggarakan untuk menghormati almarhum Madong Lubis yang meninggal dunia beberapa bulan sebelumnya, diisi dengan pembacaan sajak dan pagelaran musik ciptaannya yang termaktub di buku Taman Kesuma 1 & 2. yang selalu dibubuhi tanda tangannya untuk menghindari penggandaan liar.

Kami sefamili diundang hadir. Aku yang saat itu masih kelas empat SR rasanya ingin ikut tampil nyanyi di panggung bersama mereka. Tapi tak bisa karena aku berasal dari sekolah lain. Jadi aku cuma terhenyak di kursi, hanyut oleh keindahan musik dan lirik. Kadang-kadang aku hanya ikut bernyanyi dalam bisikan, seperti ketika koor itu menyenandungkan LAGU BERMAIN yang dikenal sebagai lagu PETIK RAMBUTAN. Sebagian liriknya masih kuingat.

Petik rambutan, bungkus di kain Belilah kain buatan Bangka Ayolah kawan, mari bermain Mari bermain bersuka-suka. Ayo, ayo, ayo Lari, lari, lari, Ayo berlari, jangan berdiri.

Lagu ini sangat terkenal waktu itu. Lagu gembira, lagu permainan kanak-kanak. Lagu lincah yang juga sering dinyanyikan orang dewasa. Bahkan duet The Blue Diamonds , yaitu abang-adik Ruud de Wolff dan Riem de Wolff kelahiran Jakarta, setelah berimigrasi ke Belanda tahun 1949, menyanyikan lagu PETIK RAMBUTAN ini di salah satu piringan hitam mereka.

Di lain bagian, dilantunkan juga lagu KATAK LOMPAT.

Lompat, hai katak lompat Lompat ke dalam paya. Kalau terlampau cepat Boleh dapat bahaya. Elok jalan ke Simpang Dua Kiri kanan berpohon rapat. Elok juga berkawan tua Perut kenyang nasihat dapat.
Sungguh lagu-lagu bersahaja yang gampang diingat. Memberi petuah dan memperkaya kesantunan. Menyuguhkan pesan moral dan mempertinggi budi pekerti. Begitulah rentetan lagu-lagu ciptaan Madong Lubis yang bergulir, yang terus kusimak dengan takjub. Tak kusangka Ompungku ini sedemikian halus jiwanya. Padahal, kalau dia marah karena aku tidak belajar dan lupa membuat huiswerk (pekerjaan rumah), matanya yang merah membuat aku lari bersembunyi ke balik piano.

Ada seorang anak, namanya si Degil Ia suka benar, main bedil-bedil O, meriam tomong, O meriam tomong…. Ada motor siparolet, be-ka spuluh dua Ada zaman meleset, gadis bersanggul dua O, meriam tomong, O meriam tomong….

Lagu MERIAM TOMONG itu juga bukan lagu biasa. Di film Naga Bonar 1, lagu itu menjadi ilustrasi musik untuk menggambarkan kegigihan para pejuang kemerdekaan. Sepupuku pernah mengingatkan, itu lagu bukan ciptaan N.N. alias No Name karena tidak diketahui siapa penciptanya. "Lagu itu ciptaan Ompung kita," katanya.

Hal ini memang perlu diperjelas, tanpa harus memperdebatkan. Apalagi di antara lagu-lagu yang dinyanyikan malam itu, berkumandang juga lagu LANCANG KUNING.

Lancang kuning, Lancang kuning berlayar malam Hei, berlayar malam Lancang kuning, Lancang kuning berlayar malam Hei, berlayar malam Haluan menuju, haluan menuju kelaut dalam Haluan menuju, haluan menuju kelaut dalam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham Hei, kuranglah faham Kalau nakhoda, kalau nakhoda kuranglah faham Hei, kuranglah faham Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam Alamatlah kapal, alamatlah kapal akan tenggelam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning, Lancang kuning menerkam badai Hei, menerkam badai Lancang kuning, Lancang kuning menerkam badai Hei, menerkam badai Tali kemudi, tali kemudi berpilih tiga Tali kemudi, tali kemudi berpilih tiga Lancang kuning berlayar malam Lancang kuning berlayar malam

Aku menduga-duga dan melempar tanya, mengapa lagu LANCANG KUNING juga dinyanyikan di malam itu? Apakah lagu itu juga ciptaan Madong Lubis? Aku tak paham, karena usiaku saat itu bukan usia untuk bertanya. Di tengah-tengah kenakalanku saat kecil di rumah SOPO LUBIS di jalan Sungai Rengas No. 10 itu, aku memang sering melihat Ompung berlatih musik dengan teman-temannya. Salah satu temannya -menurut ibuku- adalah Lili Suheri. Mereka sering memainkan lagu LANCANG KUNING dan lagu-lagu lain.

Tapi apa perduliku? Saat itu masih sekitar tahun 1959 dan usiaku masih delapan tahun. Bergolek-golek di semen di bawah kursi malas Ompung Madong yang terbuat dari rotan saja, aku sudah merasa sentosa, karena pasti tak akan dihardik oleh ayahku yang polisi. Koran bahasa Arab miliknya yang dikirim dari Malaya sering kujadikan alas kepala sehingga dia harus menggelitikku terlebih dulu agar bisa mengambilnya. Dan kalau dia menggesek biolanya dengan perlahan, akupun terlayang-layang mengantuk.

Ah, hari-hari kemarin yang mendebarkan jantung, masih terasa hingga saat ini. Berpuluh-puluh tahun kemudian, bahkan hingga detik ini, jiwaku masih selalu menggeletar jika melantunkan senandung-senandung ciptaannya secara perlahan.

Duhai, andai kubisa menggumamkannya buat kalian!

Bogor, 29 Oktober 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Dupont Circle, Washington, D.C.

Sorot matahari keras jatuh ke bumi. Semua orang menyambut gembira. Inilah hari kerja pertamaku di Washington D.C. I see trees of green, red roses too. I see them bloom for me and you. Tidak seperti di San Francisco dan Chicago yang penuh deru angin dingin, musim panas ternyata masih betah memayungi ibukota AS ini.

Di Dupont Circle, taman berbentuk bundar yang terletak di depan Hotel Dupont Plaza tempatku menginap, banyak sekali orang beria-ria. I see skies of blue and clouds of white. The bright blessed day, the dark sacred night. Ada yang duduk bermain catur dengan punggung terbuka, ada pula sekedar duduk memandangi sekeliling, sambil sesekali-dua berbincang dan tertawa bersama teman dekatnya. Orang yang serius menghabiskan waktu membaca di keterbukaan, sengaja menyerahkan diri kepada mentari. Bayangan teduh pepohonan sama sekali tak berguna, juga bagi ibu muda yang membawa kereta dorong berisi bayi. I hear babies cry I watch them grow. They learned much more than I'll never know.

Ini hari aku harus Meridian House International (MHI) di Crescent Place 1624, untuk bertemu dengan Jeannette Engelking dan Mark Freeman. Kedua mereka adalah Program Officer, masing-masing dari United States Information Agency (USIA) dan Visitor Program Service, yang bertugas untuk menerima, menyusun program dan melayaniku selama di AS.

Janji temu adalah pukul sebelas siang. Masih lama. The colors of the rainbow so pretty in the sky. Are also on the faces of people going by. Rasanya aku masih sempat mandi dan sarapan, untuk kemudian merokok-rokok sembari membaca koran pagi di coffee shop yang menghadap ke Dupont Circle. Lagipula MHI tidaklah terlalu jauh dari sini. Hanya sekitar 15 menit dengan taksi.

I see friends shaking hands, saying: ‘How do you do?’ They really saying: ‘I Love You. Aku tak perlu bergegas. Kubiarkan saja diriku terseret-seret oleh bola mata yang nyalang.

Aku termangu-mangu menatap segala. Inilah jenis pekerjaan yang paling kusuka. And I think to myself: What a wonderful world…!

Selasa, 20 Agustus 1991 (Diposting 30 September 2009)

REMINISCENCE OF THE DAYS: Malaikat-malaikat Kecil

Bermain bola di lapangan Simare-mare adalah kegiatan rutin malaikat-malaikat kecil itu. Meski cuma dengan bola rambung yang terbuat dari serat/getah pohon karet, permainan di sana amat seru, kira-kira setingkat klub papan atas Manchester. Karena dengan bola rambung, akan mudah sekali membuat tendangan pisang, bend it like Beckham. Pilih kawanmu, kupilih kawanku, mari kita buka baju untuk ditumpuk menjadi tiang gawang tak kasat mata.

Lapangan yang dipagari oleh potongan kecil Bukit Barisan itu berbentuk huruf U dan tak berumput sempurna. Ada yang botak-botak, cuma tanah dan pasir semata. Banyak juga yang sudah berlobang-lobang becek, sehingga sering beberapa ekor kerbau berkubang di sana. Meski jorok menjijikkan, namun coklat warna kulitnya bersinar ditimpa mentari sore. Tapi who cares, permainan ini terlalu menyenangkan sehingga halangan apapun tak perlu dipedulikan.

Permainan sepak bola itu memang tak boleh terhenti. Tugas sekolah dan panggilan pulang dari rumah dibuta-tulikan saja. Apalagi cuma hujan pantai yang rapat. Hanya saja, baju dan celana harus disimpan-susupkan di kolong jembatan agar tetap kering. Ini perlu, agar para orangtua tidak bercuriga dan tidak tau kalau mereka sudah berbecek-ria dan berkubang di lumpur bersama kerbau-kerbau dungu.

Maka, di bawah gelontor hujan dan sambaran petir, orang-orang akan melihat bayang-bayang kecil itu menari-bersijingkat, berlarian-berkejaran, berlompatan-bergelimpangan, berebutan-bertolakan, berloncatan-bertepuktangan, bercengkerama-bergembira, bercanda-bertelanjang tanpa busana. Bulat-bulat, basah dan dingin, sehingga kantung-kantung telor mengeriput dan penis-penis kecil menyusut. Tapi, who cares!?

Cihuuuiii.............., malaikat-malaikat kecil itu adalah kami!

(diposting Minggu, 27 September 2009)
Sibolga, 1960-1965, untuk ingatan teman-teman kecil: Marlan, Dogor, Roybat, Tamba, Sakti, Bakti, Ciang, Lindung, Omri, Sidik, Victor, Jansen, Polin, Amad, Sunan, Horas & Remon.

REMINISCENCE OF THE DAYS : Selamat Tidur, Helena!

Setelah berhari-hari menginap di Hotel Radisson, Memphis, pagi itu jadwalku adalah Helena, Arkansas. Dengan mengendarai mobil, kutelusuri jalan yang menguap. Cukup makan waktu. Lubang hidung kering dan kulit terasa berminyak. Tujuan adalah Cotton Field, perladangan kapas yang luasnya sepanjang penglihatan. Langsung menusuk ke perkebunan kecil, terlihat kerumunan para kulit hitam sedang merayakan beria-ria merayakan Hari Panen, pada pesta semacam bazaar yang penuh makanan, minuman dan musik.

Ceria mereka menyambutku. Dengan senyum lebar mereka lontarkan puji-puji bernuansa agama. “Oh my Lord!” ujar mereka atas kedatanganku. Tapi wajahnya juga masih penuh rasa heran. “I’m just a stranger passing by,” kataku.

Kami kemudian merayakan hari ulang tahunku yang persis jatuh di tanggal sama dengan Cotton Day itu. Di rumah keluarga Joe, aku didudukkan persis di sisi kanan tuan rumah. Seluruh anggota keluarga hadir di situ. Kami saling bertanya dan saling menjawab. Mereka menghidang makanan yang hampir tak boleh kusentuh, karena rata-rata bercampur daging babi. Aku bingung, mereka bingung. Akhirnya mereka memberiku seporsi kulit kentang yang telah direbus. “It’s okay!” tanggapku.

Sebelum makan, mereka mengajakku berdoa. Panjang sekali. Dan seusai doa, empat putri keluarga itu berdiri di sampingku untuk ber-acapela melantunkan lagu. Aku merasa aneh, merayakan ulang tahun dengan gaya yang lain. Tapi it’s always okay. Malam itu aku menginap di Edwardian Inn, di tempat yang bukan hotel atau motel, tetapi Bed & Breakfast. Seperti maknanya, mereka cuma menyediakan tempat tidur & sarapan pagi. Kamarku persis di puncak teratas, dekat wuwungan atap. Perabotannya tempo dulu, terkesan kuno dan berwarna gelap. Agak menyeramkan. Tapi karena mata mengantuk dan badan letih, hal itu sama sekali tidak mengganggu. 

Apa yang kucari di sini? Dan apa yang kuperoleh? Aku mungkin menemukan sesuatu tetapi tetap merasa kehilangan. Hidup tak pernah lengkap. Jawaban datang satu per satu, menjelaskan namun tidak menjawab. Besok aku akan berjalan lagi, menyeret tubuh sepanjang jalan, berkelana mencari diri. Kubuka jendela dan melongokkan kepala menerawang malam. Yang ada cuma gelap.

Selamat tidur, Helena!

Diposting Jumat, 25 September 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS: Senja di Tip Top

Burung-burung itu selalu terbang bergerombol dalam formasi yang aneh. Kecepatannya tinggi, namun menukik, berbelok dan berbalik dapat dengan gampang mereka lakukan. Tidak ada yang bertabrakan, bahkan bersenggolan. Sungguh kelebat terbang kelas prima.

Dari kursi rotan tua di pojok Tip Top itu, aku mengamati mereka setiap senja turun. Dengan segelas ice cream, aku memantau potongan langit yang dilatardepani oleh bangunan pertokoan. Di sana mereka melayang-layang, bermain-main dan bercengkerama di udara terbuka.

Siapa mereka?
Swallow-kah? Sparrow-kah? Perling? Ah, apapun adanya, mereka telah mempertontonkan kelebat terbang kelas prima. Dan itu mendamaikan hati.

Kamis, 24 September 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Kebersamaan dan Kesetiaan

Terseok-seok dia menyusuri jalan. Badan bungkuk melengkung nyaris membuat kepalanya mencium tempurung lutut kanan. Rambutnya gimbal segimbal-gimbalnya, karena sudah bercampur kotoron, tanah, segala jenis kutu dan tumo. Busananya sangat tak pantas disebut pakaian. Tubuh berdaki karena tak pernah mandi, wajah mendelik jika bicara, membuat dia jadi imitasi terdekat Quasimodo, si Bungkuk dari Notre Dame.

Namun kegagahan masih membayangi. Di belakang pria tengah usia itu, berjalan beriringan keluarganya, seorang wanita bule dengan dua anak perempuan yang masih kecil. Mereka berpakaian lusuh, mirip gypsy, tetapi kulit mereka tidak kusam, karena pastilah berbasuh setiap hari. Bola mata mereka coklat bening, agak kuyu tetapi tak pernah kehilangan cahaya.

Tidak banyak yang tau siapa laki-laki itu. Orang-orang pernah berbisik mengatakan, dia bernama Anwar Nasution. Aku tak pasti. Konon, pemuda gagah dari Sipirok ini adalah pelaut ulung. Dia melanglang buana, menantang ombak dan gelombang. Dialah yang berkelana dengan suara lantang menghardik badai dan menampar ombak besar di lima samudra. Dialah yang menyusuri dermaga-dermaga benua Eropa, tak menyerah pada takdir, tak angkat tangan terhadap nasib. Dia pulalah yang menikahi wanita anggun dari Eropa, istri yang memberinya dua anak berambut pirang, berhidung mancung.

Namun, petaka memang tak selamanya bisa dihindarkan. Tiang kapal patah dan menimpa tubuhnya yang tegap. Diapun lunglai, terjerembab setengah mati, namun masih mampu bertahan dengan tubuh remuk dan pikiran kacau. Kecacatan membuat hidupnya berbalik 180 derajat, tak lagi bisa bekerja sebagai kelasi. Menganggur! Tak punya mata pencaharian! Kiamat sangat dekat dengan kepala.

Tapi keluarga Anwar tetap survive. Mereka bertahan dengan menyusuri kota Medan. Terseok-seok bersama, menantang dunia bersama. Rumah tiada, harta tak punya. Tidur beralas tikar di sela-sela emperan toko. Mereka tak pernah menengadah telapak meminta-minta, hanya menerima jika disodorkan. Mereka menggelandang trotoar demi trotoar dan terowongan, berbalut buntalan kain-kain gendongan.

Di mana mereka sekarang? Kota Medan sudah lama tak melihat mereka. Anwar mungkin sudah tiada, tetapi ini hari keluarga itu berkelebat dalam lintas pikirku. Mereka ternyata bukan kotoran, meski kehidupan selalu berhubungan dengan sampah. Keluarga Anwar adalah harum mawar penghias kota Medan, potret jelita ibukota Sumatera Utara, karena mereka memiliki hal yang jarang kita miliki, suatu nan bernama: kebersamaan & kesetiaan.

Kebersamaan keluarga dalam menjalani susah seperti menikmati kesenangan, adalah fenomena. Kesetiaan keluarga mendampingi suami dan ayah dalam segala kondisi, sungguh sesuatu yang sangat luar biasa. Sesuatu yang langka, tidak selalu terjadi di zaman ini.

23 September 2009

REMINISCENCE OF THE DAYS : Ancogot

Mempersiapkan juadah di malam sebelum lebaran merupakan satu bagian dari masa kecil, yang kini tidak tersisa lagi. Itu dimulai saat nenek mengeluarkan loyang besi panjang mirip raket bulutangkis untuk memasak kue ancogot, kue yang hanya boleh dimakan pada esok hari di bulan Syawal. FYI, ancogot dalam bahasa Mandailing berarti besok.

Uniknya, kue itu cuma hadir di Hari Raya, tidak pernah di hari lain. Rasanya tidak begitu istimewa, tapi karena hanya muncul setahun sekali, kami selalu merindukannya. Kue yang diadon dengan tepung, mentega dan telur ini berbentuk pipih, mirip uang benggol berdiameter tiga centimeter, dengan garis-garis saling menyilang membentuk kotak-kotak kecil. Disusun satu persatu di dalam stoples kaca, ditutup erat dan rapat supaya tidak masuk angin, untuk menjaga kerapuhan dan tidak melempem, juga agar tangan-tangan kecil kami tidak gampang membukanya.

Kini ancogot sudah tak ada lagi. Toko-toko tidak menjualnya. Tidak ada di mana-mana. Keluarga kami tidak memasaknya lagi. Bukan karena resep ini tidak diwariskan, tetapi karena kami sekarang merasa lebih praktis dengan membeli di toko kue. Dan aku merasa kehilangan. Memasak memang tidak praktis, meski lebih ekonomis. Membeli memang mudah, namun tidak pernah indah.

Lebaran 200909

Rabu, Februari 04, 2009

Legend of The Falls

Muring-muring iku dalane antuk pepeteng,

Mula sing sapa seneng muring ora bakal antuk pepadhang.

- Pituduh


Apa sih yang tidak diributkan di masa kini? Tatanan baru direka, masih dangkal implementasi, belum rampung dalam aturan, eh, sudah ditentang. Rancangan yang masih harus mengalami uji berulang kali, tau-tau sudah berada di jalan raya. Diacung-acungkan dalam plakat, disorak-soraikan sebagai suatu dosa. Wacana dan fakta sudah layak bayi kembar yang tak bisa dibedakan. Satu ucap yang menggema lewat dasar pemikiran matang, akan­ disanggah habis dan diinterpretasikan dengan tafsiran beda.

Kita belum pandai berkomunikasi. Kita tak mendengar mulut orang bicara. Kita tak mendengar pesan yang disampaikan, karena cenderung mendengar kalimat-kalimat sendiri yang kita ciptakan di alam pikiran. Jika kita bertanya dan orang menjawab, maka jawaban orang itu harus tak beda dengan jawaban yang telah kita siapkan diam-diam sejak dari rumah. Karena sesungguhnya kita memang tak ingin bertanya, tetapi cenderung mengoptimalkan kebenaran dan mengajak berkomplot, agar saya sama dengan kau, kau sama dengan mereka dan mereka sama dengan segenap anak bangsa.

Semua dipertanyakan. Jangankan yang hitam atau sekedar kelabu, bahkan yang putih kinclong pun masih terus disangsikan. Jangan terima segalanya dengan satu anggukan, tetapi ujilah dengan tinju yang kekar. Di depan istana, di pagar MPR DPR, di jalan-jalan raya, ayo Bung, kita tudingkan seluruh jari ke arah orang yang tidak kita sukai.

Soeharto. Beberapa pekan ini nama itu kembali masuk berita. Orang-orang angkat suara, ramai dan heboh. Menjelang ujung sebentuk sakratulmaut, silang sengkarut berlaga-laga. Pendapat bergulat dengan pendapat bagai dua naga raksasa yang bandel. Soeharto tak boleh dibiarkan lolos, demikian kelantangan itu bergema. Ajal tidak seharusnya menjadi escape. Bagaimanapun hukum adalah panglima! Tangan-tangan terkepal, wajah ketidakpuasan mengkilap, seakan satu-satunya derita di muka bumi ini tercipta oleh seorang yang bernama Soeharto.

Di pihak lain, kemanusiaan juga berbicara. Begitu bengiskah kita, sehingga sepuh yang menderita kerusakan otak dan faali lainnya ini, perlu diseret ke kursi terdakwa? Sungguh usia panjang yang tak menyiratkan ketenangan. Bahkan ketika sosok tua itu akan mengetuk pintu terakhir untuk tidak berpaling lagi, kemurkaan masih terus menyertai dari segala penjuru. Inilah seuntai legenda kejatuhan yang akan menjadi sejarah panjang bangsa ini, ketika kita tak lagi punya maaf, tidak beriba dan tak memberi ampun. Baja adalah hati kita. Saya teringat Franco. Lepas dari perangai dunia, kini di tepi kuburnya bunga mengkelopak semerbak. Bujur makamnya berdampingan dengan tulang belulang orang-orang yang sepanjang masa memusuhinya. Dan kenalkah mereka sebenarnya siapa Franco?

Pertanyaan yang sama: kenalkah kita sebenarnya pada Soeharto? Saya tidak, meski saya masih bisa menorehkan garis dan bayang untuk melukis ingatan tentang sosok gagahnya berkacamata hitam saat membongkar Lubang Buaya. Meski sangat berjarak, diam-diam saya pernah berterimakasih, karena sebagai pelajar ­SMP di saat G30S tahun 1965, saya merasa nyawa saya tertolong dengan eksistensinya. Yaitu ketika di satu malam hujan, rumah kami digedor orang-orang. Jika pintu jebol, alamat kami sekeluarga tak bernyawa lagi, terkubur di parit-parit galian yang mengitari rumah, tempat saya berondok bersama kawan-kawan. Ayah saya sedang bersiaga di kantor polisi, mendengar kawat dan siaran radio, sehingga pastilah tak bisa datang menolong. Dan apalah arti sepucuk senapan yang terbaring di bawah kolong tempat tidur? Menggunakannya saja saya tak becus, karena baru sekejap diajar cara memasukkan peluru dan menarik pelatuknya. Apalagi para teroris itu jelas tidak satu dua, tapi berjumlah lebih dari enam orang. Pikiran SMP saya berkata, jika Soeharto tidak muncul di Ibukota, warna republik akan jadi merah. Panji merah di atas bumi, darah merah di bawah tanah.

Kenalkah saya pada Soeharto? Saya kemudian memang pernah bertemu dan bahkan bersalaman dengannya. Saya bangga ketika sebagai Presiden RI dia memberi kata sambutan tertulis di salah satu buku karangan saya. Tetapi saya tetap tidak mengenalnya. Dia juga tidak mengenal saya. Zaman itu, saya cuma salah satu dari begitu banyak orang yang selalu mengaku mengenal Soeharto. Semua orang berlomba-lomba mendekatkan diri, sama saja dengan kini, tatkala semua saling bersikutan karena ingin berakrab-akrab dengan Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY.

Kenalkah saya pada Soeharto? Saya ragu. Lama saya berjalan menyusuri usia, mencari diri di setiap halaman buku, mengunjungi rumah-rumah ibadah dari agama apa saja, menyimak Aa Gym hingga Uztad Jefri, mendengar kotbah dan kata-kata bijak, menelusuri Kiekergard sampai Khrisnamurthi, namun tak terlihat tanda-tanda untuk mengenal diri sendiri. Endles journey of self-identification, never dissapear.

Gusti, bahkan diri sendiri tidak berhasil saya kenal, bagaimana pula saya bisa mengenal orang lain? Sebab, sesungguhnyalah sebuah pengenalan cuma tumpukan masa lalu. Ketika kita bertemu seseorang dan mengatakan kita mengenalnya, maka sebenarnya yang kita kenal itu adalah sebuah masa lalu miliknya, bukan otentik diri pada saat kita menemuinya. Kita terperangkap dalam bayang-bayang dan kesan purba, kita terpengaruh oleh kilatan sosok lampau. Kita bercermin pada fragmentasi. Dan itulah pula yang membuat kita jadi berpendapat berdasarkan kemasalaluan, sebuah fakta yang kuno, sebuah pertemuan yang usang. Kita terkontaminasi oleh kungkungan pikiran yang celakanya, memang kita pelihara baik-baik agar menjadi identitas. Kita tak pusing-pusing untuk senantiasa menjadi baru dan segar.

Kenalkah saya pada Soeharto? Saya tidak kenal padanya. Jadi pada saat dia terbaring di Rumah Sakit Pusat Pertamina, saya merasa tidak perlu datang. Toh juga akan ditolak, sebab saya nobody. Tetapi beliau itu sedang gering, dan besar kemungkinan merupakan sakit terakhirnya. Perlukah saya mem-bezoek-nya? Tidak perlu. Saya kan tidak mengenalnya. Saya pikir, saya cukup prihatin saja. Menjenguk dengan doa, mungkin akan lebih baik. Jika dia ditakdirkan pulih, mudah-mudahan itu membawa kebahagiaan bagi keluarga dan orang-orang yang menyayanginya. Dan kesembuhannya juga bisa memuaskan perasaan orang-orang yang masih merasa dipecundangi, yang ingin terus menyeretnya ke kursi pesakitan. Tapi jika dia ditakdirkan untuk mengakhiri segalanya sampai titik yang telah dijanjikan, akankah kita membiarkan arwahnya mengalir sesuai keinginan sang Pencipta?

Saya tak kenal dengan semua yang ada. Tidak diri orang lain, tidak diri sendiri. Apalagi di zaman ketika setiap orang penuh angkara. Lihatlah, hampir tidak ada lagi hal yang tidak diprotes di negeri ini. Semua di­caci. Keagungan yang dulu menjulang kini menjadi malang, terhempas jatuh berdebam pasrah tanpa gagah. Dan saya tak ingin mencarut-carut, murka atau menggemeretakkan geraham. Karena saya tak kenal Soeharto. Entah itu suatu kerugian (di masa Orde Baru itu dinilai sebagai kerugian besar), atau sebuah keuntungan (di masa Reformasi itu suatu keuntungan), saya tidak mau memikirkannya. Karena saya tak bersangkut paut dengan dirinya. Tanpa dia, saya fine-fine saja. Tidak semakin miskin dan tidak bertambah kaya. Tidak menjadi damai atau semakin galau. Saya tidak merasa kehilangan rupiah atau dollar, karena perhitungan saya tidak bersandar pada untung rugi. Saya tumbuh menjadi saya-yang-ini-hari karena Allah semata, junjungan yang tiada cacat cela. Saya sepenuhnya dikendalikan oleh pikiran dan nurani sendiri. Bukan oleh Soeharto atau siapa saja yang jadi presiden, menteri, anggota atau ketua MPR DPR.

Teman saya sering bernakal dengan candanya yang norak. Dia ­bilang, hidupnya jauh lebih senang di era Soeharto. Dia puji-puji zaman itu. Ketika dikejar maksudnya, dengan lempang dan gaya dia berkata, “Terang dong! Kan di masa Soeharto istri saya masih muda. Sekarang di masa SBY, saya susah, istri saya sudah jadi nenek-nenek.”

Meski sudah tidak lucu lagi, tapi saya masih mau tersenyum. Saya harus hargai sikap-sikap yang tidak mengandung dan mengundang amarah. Saya ingin membiarkan angin mendesir, cicak berdecak dan sepi menggerayangi. Saya ingin mematai semuanya dan kemudian bersalaman, menebar senyum untuk sesiapa saja. Karena saya penat, begitu banyak murka telah mengisi relung jiwa. Satu lagi, saya ingin menyaksikan akhir dari semua ini: sebuah kejatuhan besar yang membuat hati gemetar.

Sobat, biarlah itu melegenda. Ati suci marganing rahayu.

Dimuat di majalah B-Watch No. 11, edisi Juni 2006

Rabu, Oktober 15, 2008

Kondisi Jemu Kemanusiaan

If you want to know who your friends are, get yourself a jail sentence.

- Charles Bukowski (1920 - 1994)


Ramadhan yang suci pun pergi. Untuk mengiringi, kalimat-kalimat bagus mulai mengunjungi. Pertama di tengah malam ketika lelap sudah jadi bagian dari tidur, dan yang kedua sewaktu bersahur menjelang subuh menjelma. Selanjutnya pesan-pesan itu menghampiri di setiap saat, untuk akhirnya bertubi-tubi. Handphone yang kemudian tak pernah sepi dari bunyi, ring-rang-rung terus, menampung salam yang mengisyaratkan keindahan silaturahmi. Mohon maaf, memberi maaf, membuka hati, menghatur doa dan mengharap cuma yang terbaiklah yang diberikan Tuhan kepada kita.


Short Message Sercives memang telah jadi bagian hidup kita sehari-hari. Dia menjadi mata rantai komunikasi antar manusia sejagat. Begitu dahsyatnya, sehingga peran SMS mampu menggeser gengsi kartu Hallmark yang terkenal. Mengirimkan kartu ke handai kini terlihat sebagai kekunoan, lambang zadul (zaman dulu) yang beranjak raib. Bahkan parcel yang rapi juga tidak boleh jadi pilihan. Karena selain harganya mahal, mengirimkannya juga bisa mengundang bahaya. Penerima dan pengirim bisa dicatat sebagai orang yang doing something wrong.


Berbahaya? Ya! AM Fatwa menyiratkan itu di suatu sore, di tengah kerumunan sekitar 200 orang yang berbondong hadir di aula lantai dua Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Cipinang, Senin 13 Oktober lalu. Itulah hari ketika Prof. DR. Ir. Rokhmin Dahuri, MS berhalal bihalal dengan kerabat-kerabatnya. Dalam SMS-nya, Menteri Kelautan dan Perikanan RI era Megawati ini menyampaikan bahwa sejumlah sahabat memprakasai untuk silaturrahim halal bihalal di Cipinang dan merasa sangat berbahagia bila para sahabat juga bisa bersama pada acara tersebut.


Tidak ada yang salah. Bersilaturahmi adalah keniscayaan. Berpelukan dalam rasa berbagi dengan membebaskan nurani dari sebarang kekhilafan adalah keharusan. Kita adalah manusia pemaaf yang cepat lupa. Kita butuh aksi untuk mengencerkan segala syak dan prasangka yang negatif, baik dengan salaman, pelukan, Hallmark card atau SMS. Tapi jangan parcel. “Bisa salah,” ujar Wakil Ketua MPR RI itu. “Saya tak ingat, mungkin juga Pak Rokhmin masuk ke sini karena pernah mengirim parcel buat saya,” katanya disambut tawa hadirin, meskipun dia tak bermaksud canda.


Teman yang berdiri di samping membisiki saya, kesalahan Rokhmin bukan karena mengirim parcel atau memberi upeti, tetapi karena dia rapi mencatat. Ungkapan ini sudah sering saya dengar, namun batin saya kembali mendung jika mendengar itu lagi. Pria jujur yang malang. Rokhmin yang teliti ternyata harus menerima sial. Palu tujuh tahun penjara sudah diketuk dan dia harus pasrah menerima.


Tapi sadarkah kita, bahwa sebenarnya kita sedang menciptakan sosok pahlawan pemberani atas nama Rohmin Dahuri? We should look for our brave men in prisons and for the fools among politicians, ujar politisi Irlandia Utara David Trimble. Saya merasakan itu. Ada kesan lain melihat Rokhmin di Cipinang dengan Rokhmin ketika sebebas Camar. Kuat lengannya dalam memeluk memberi sinyal bahwa anak nelayan ini telah bermetamorfosa menjadi harimau. Getar batinnya yang merambat ke penampang rasa menunjukkan bahwa telah hadir seekor naga perkasa di sana. Crouching tiger, hidden dragon. Masih lima tahun lagi dia harus dikurung, namun cuma sedikit teman-teman yang menjauh. Hal-hal besar yang pernah dilakukannya dalam menata dan mengelola Kelautan dan Perikanan di negeri ini ternyata sangat elok di mata masyarakat. Kalimat Indira Gandhi cukup pas di sini: there are moments in history when brooding tragedy and its dark shadows can be lightened by recalling great moments of the past. Rasa-rasanya, penataan Indonesia sebagai Negara Bahari masih memerlukan sentuhan jemari Rokhmin.


Maka, selamat hari raya bagi Rokhmin dan orang-orang yang berhati raya. Syawal hadir memberi kemenangan dan semua berpeluk mesra di antara keharuan dan airmata. Moga-moga batin kita ikut memohon dan memberi maaf, dipinta atau tanpa diminta, dipolitisasi atau alamiah. Meskipun di masa-masa ini kita terpaksa selalu menyurukkan secuil keraguan atas ketulusan hati manusia. Oh wearisome condition of humanity! Born under one law, to another bound.


(dimuat di Majalah Marine Bisnis, edisi Oktober 2008)

Senin, September 22, 2008

Semua Karena KehendakNya


Biografi Hedijanto, Bendahara Yayasan Dharmais

Penulis: IzHarry Agusjaya Moenzir

Penyunting: Jaumat Dulhajah

Penyunting Bahasa Jawa: RMH Subanindyo Hadiluwih

Perancang Grafis: Johan Gondokusumo


Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Diterbitkan oleh: Biografi Indonesia

ISBN 10: 979-95367-0-7

Cetakan Pertama: Oktober 1997



“………………………pantes agung kang poro prawira,

anirita sakadare,

ing lelabuhanipun,

hawya kongsi buang palupi,

menawa tibeng nista,

ina estinipun senadyan tekading budya,

tan prabeda budi panduming dumadi,

marsudi ing kahutaman.”

- Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (K.G.P.A.A.) Mangkunagoro IV

dalam Kitab Tripama.



Solo, Pasca 1927


1. Uro-uro di Tengah Malam


Sepetak sawah. Sebuah cangkul berlumpur. Dua ekor kerbau dengan bangau kecil yang sering bertengger di punggungnya. Sengatan terik mentari. Dan keringat mengucur membasahi kulit hitam legam.


Semua itu merupakan bagian dari hidup saya di masa kecil. Merupakan pemandangan yang sangat lekat dengan batin. Yaitu bilamana saya duduk di atas punggung kerbau atau berjuntai di dangau yang goyah sembari menarik-narik tali untuk membunyikan kaleng-kaleng kosong. Kerontangnya akan membahana mengejutkan burung-burung pencuri padi. Begitu setiap saat, begitu pula setiap hari.


Ayah saya, Pak Wongsodimejo -demikian dia biasa dipanggil oleh warga desa Tjokrotulung Polanhardjo- adalah seorang petani ulet. Dialah aktor yang memainkan peran utama di tengah-tengah gambaran tadi. Dengan otot-otot bertonjolan, sehingga mengesankan kulitnya akan meletus, Bapak menghabiskan waktu seharian dengan merendam kaki di air berlumpur, membungkuk menanam padi, atau berteriak-teriak hingga parau di belakang alat peluku tanah yang dihela oleh si Hitam dan si Lamban, kedua kerbau milik kami yang banyak berjasa.


Meski hanya sepetak, namun hasil yang dipetik dari kerja keras itulah yang membuat keluarga kami bisa bertahan. Berlima kami -Bapak, Simbok, Mas Kuat, Mbakyu Sukarti dan saya- bisa diberi makan oleh petak sawah gembur itu, sehingga lepas dari rasa lapar yang menggigit, meski tanpa berlauk apa-apa.


Itu sudah hal biasa. Bahkan jika harus makan nasi dengan garam, hidangan itu tetap merupakan menu yang pas. Nasi, sebagai bahan konsumsi utama, bagi saya adalah makanan terlezat di dunia. Apalagi beras yang berasal dari kecamatan Delanggu tempat kami berdomisili.


Hal itu sudah sohor dan diketahui banyak orang. Beras Rojolele yang dihasilkan oleh kabupaten Klaten, dikenal sebagai beras lezat yang gurih. Pakai garam saja sudah enak, apalagi jika dilengkapi dengan sepotong ikan asin dan lauk-pauknya. Tiap satu jam pasti lapar lagi.


Kesuburan kawasan itu memang tak bisa dipisahkan dengan keberadaan Tjokrotulung, sumber air nan tidak habis-habisnya, yang bahkan menjadi sumber air Perusahaan Air Minum di Solo.


Meski lahir dan dibesarkan di tengah keluarga yang melarat, namun saya tak pernah bersungut-sungut. Bapak dan Simbok pun demikian. Mereka selalu menunjukkan wajah cerah dan optimis, percaya bahwa kehidupan yang dipilihkan Tuhan buat mereka adalah takdir yang terbaik. Lebih baik dari apa-apapun di dunia ini.


Sikap hidup nrimo seperti itulah yang menular, sehingga tak sekalipun dari bibir saya pernah terloncat keluh kesah. Tidak sepatahpun. Bukankah perangai itu merupakan cermin sikap hidup orang Jawa yang apa adanya, hidup lumrah tanpa membanding-banding?


Saya tidak tahu persis dari mana sikap nrimo demikian bisa bersarang dalam diri saya. Merasuknya tidak kentara, pelan merayap, namun berhasil membangun kekuatan dalam diri. Pribadi saya menjadi kukuh karena tidak sepigura gambar kehidupan lain pun pernah datang ke dalam diri saya.


Dan saya sendiri juga tidak pernah mengundangnya datang. Seperti pendapat Bapak dan Simbok, kehidupan yang saya terima, walau bagaimanapun nestapanya, tetap merupakan anugerah. Dan anugerah tak boleh ditolak. Apalagi diprotes.


Saya masih ingat di malam-malam sepi yang gelap, saat kami duduk berhimpit-himpit menunggu kantuk datang menyerang. Listrik belum ada di desa, dan hanya kegelapan yang melingkupi. Cahaya yang dipancarkan oleh sentir tak bisa menerangi malam. Dan seperti malam-malam sebelumnya, Bapak akan selalu uro-uro (menembang atau mocopat, bernyanyi kecil dengan gumam).


“................Yogyaniro, kang para prajurit. Lamun biso anulado. Duk ing nguni caritane. Andeliro sang prabu Sosrobahu. Hing Mahespati, aran patih Suwondo lelabuhanipun. Kang ginelung tri prakoro. Guno koyo lawan den antepi. Nuhoni trah utomo.......”


Suaranya mengembang, naik turun sesantai tarikan napas yang wajar. Tidak ada pemaksaan, mengalir begitu saja.

Tak sengaja, saya mendengar dengan tekun. Tidak mendengar pasti tidak bisa, karena di tengah kesunyian malam tanpa pelita begitu, hanya uro-uro saja yang terdengar. Kadang memang ditingkahi dengan jeritan jangkrik yang bersembunyi di balik rerumputan, namun paduannya melantun harmonis, merasuk ke relung-relung jiwa.


Saya menikmatinya sebagai sebuah nyanyian yang menghimbau. Meski banyak kalimatnya yang saya tidak mengerti karena dilafaskan dalam tutur kromo inggil (bahasa Jawa yang tinggi), namun saya bisa merasakan getar-getar yang dihasilkannya.


Tidak jarang saya langsung bangkit menghampiri dan duduk di bawah lutut bapak.


“Tegese opo to Pak?” Tanya saya lugu.


“Kamu harus ngerti, To. Uro-uro ini bukan hanya nyanyian semata, tetapi juga sebuah ajaran. Panggulowenthah. Tembang Jowo itu memiliki petuah yang harus dipatuhi.”

Saya tak sepenuhnya mengerti. Melihat air muka saya yang masih menyiratkan tanda tanya, Bapak meneruskan kalimatnya.


“Kowe ngerti tegese 'meneng wae', To? Karepe, upomo kowe duwe beras utowo sego, menengo wae. Ojo gembar gembor. Lha yen pinuju ora duwe, ya menengo wae. Lan ojo ngresulo. menengo wae. Kejobo kawi wong urip kudu ngerti pangroso, jen kowe ora seneng marang tumindaking liyan, ojo nganti kowe nduweni tumindak kang mengkono marang liyan. Ojo seneng nabok yen ora gelem ditabok.”


Saya kurang mengerti apa makna yang disampaikan Bapak. Tidak pada waktu itu. Namun sepanjang hidup saya kemudian, kalimat-kalimat Bapak terus datang bertubi-tubi, sehingga akhirnya saya jadi mengerti.


Sekarang saya bersyukur telah banyak mendengar lantunan uro-uro Bapak.


Bersambung ke bagian 2. (Ojo) Meneng Wae